JANGAN MUDAH MEMVONIS SYIRIK PADA MUSLIM YANG LAIN

Februari 24, 2011 1 komentar

SYIRIK KAH???

Oleh : Qultu Man Ana

DEFINISI/TA’RIF IBADAH menurut syara adalah melakukan ketundukan seoftimal mungkin dengan HATI dan BADAN.

Menilai sesuatu PERBUATAN BISA MASUK KATEGORI ibadah  dengan 2 unsur:

  • HATI yaitu meng’itiqadkan dengan hati adanya sifat husus ketuhanan (seperti memberi manfaat madorot secara independen,terlaksana segala kehendaknya) pada pihak yang ditunduki. unsur pertama ini yaitu ADANYA I’TIQAD HATI sebagaimana disinyalir dalam firman Allah: mereka itu adalah orang-orang yang tertanam di HATI nya keimanan dan Allah menguatkan mereka dengan pertolongan darinya (almujadalah : 22)
    juga dalam firmannya: barang siapa kafir kepada Allah sesudah dia beriman, dia dapat kemurkaan,kecuali orang-orang yang dipaksa kafir padahal HATI nya tenang dalam keimanan (Annahl : 106)*Nah jadi unsur PERBUATAN DISEBUT ibadah, yang pertama adalah itiqad di HATI/IMAN..
  • BADAN, yaitu ketundukan dengen anggota tubuh seperti iqrar dengan sahadat,atau berdiri, ruku, sujud (misal solat) dan pekerjaan dohir yang lainnya. nah CONTOH ketundukn dohir seperti firman Allah: dan dirikanlah solat (QS : an nisa : 76)Maka jika orang melakukan ketundukan dohir tanpa adanya i’tiqad di hati seperti di atas,maka ketundukan/mengagungkan tersebut bukanlah ibadah kepada pihak yang ditundukinya, walaupun dalam bentuk sujud, adapun ulama mengatakan sujud pada berhala adalah kufur karena itu tanda daripada i’tiqad ADANYA SIFAT KETUHANAN pada berhala tersebut bukan kufur karena dzatiyah sujudnya !,sebab kalau kufur secara dzatiyah, maka SUJUD PADA SELAIN ALLAH tidak akan diperkenankan dalam syariat nabi manapun, sebab termasuk munkar dan Allah tidak memerintahkan/MERIDHOI kemungkaran FIRMAN ALLAH; DAN ALLAH TDK MERIDOI KEKUFURAN PADA HAMBANYA ( QS : AZ ZUMAR 7),Telah berlalu dalam syariat sebelum nabi muhamad SAW, melakukan penghormatan dan pemuliaan dengan sujud bagi selain Allah tetapi hal demikian (penghormatan dalam bentuk sujud) diharamkan dalam syariat kita, namun bukan berarti kafir/syirik…!! kecuali dengen adanya i’tiqad ketuhanan pada pihak yang disujudi. LIHAT firman Allah: dan ia menaikan ibu bapaknya ke atas singgasana dan seraya merebahkan diri sujud pada yusuf (QS: YUSUF 100)Ibnu Kasir ROHIMAHULLAH menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan dalam syariat mereka ketika mengagungkan kepada pembesar, dan hal tersebut diperblehkan dari mulai syariat nabi adam as sampai nabi isa as, lalu di haramkan dalam syariat sekarang. lebih dijelaskan lagi dengan PERISTIWA sujudnya malaikat pada adam as, hal itu ibadah pada Allah dan memuliakan nabi adam as, maka dari sini di ketahui bahwa mengagungkan ka’bah dengan towaf, hajar aswad dengan menciumNYA, hormat dan berdiri pada ulama, itu bukan ibadah pada kabah,hajar, ulama yang akan berdampak syirik, karena MELAKUKANNYA tanpa DISERTAI i’tiqad di hati (sifat husus ktuhanan) pada mereka..! justru itu ibadah pada Allah.
    ADAPUN contoh dalam hadis, rasul bersabda kepada kaum anshar; berdirilah kalian untuk pemimpin kalian’ maksudnya saad bin muadz (HR BUKHORI 3520)

Maka jelas tidak semua bentuk ketundukan/pengagungan JADI OTOMATIS DISEBUT IBADAH PADA PIHAK YANG DI AGUNGKANNYA, YANG BERDAMPAK PADA SYIRIK! MAKA HUKUM MENGAGUNGKAN TERSEBUT BISA JADI WAJIB, SUNAH, MARGUB, HARAM, MAKRUH MALAH BISA JADI MUBAH.

INGAT!!  MENGAGUNGKAN SESUATU TIDAK DIKATEGORIKAN IBADAH SECARA SYARA KECUALI DIBARENGI ITIQAD SIFAT KETUHANAN ATAU KEISTIMEWAAN KETUHANAN PADA YANG DITUNDUKI/DI AGUNGKANNYA.

NAH BEGITU JUGA MENGATAKAN IMAN PADA ALLAH DENGAN MULUT SAJA TIDAK DI ANGGAP IMAN KETIKA TIDAK DISERTAI I’TIQAD ADANYA SIFAT KETUHANAN PADA ALLAH DI HATINYA, LIHAT FIRMAN ALLAH: DI ANTARA MANUSIA ADA YANG BERKATA ‘KAMI BERIMAN KEPADA ALLAH DAN HARI AKHIR PADAHAL MEREKA BUKANLAH ORANG BERIMAN (QS : ALBAQOROH 8) NAH *AYAT INI SEKALIGUS MEMBATALKAN PENDAPAT IBNU TAIMIYAH BAHWA ORANG MUSRIKIN JUGA BERTAUHID RUBUBIYAH (IMAN) DI KARENAKAN MEREKA BERKATA BAHWA ALLAH SANG PENCIPTA, PADAHAL ITU TIDAK BENAR TOH CUMA DIMULUT SAJA , HATINYA MAH TIDAK YAKIN BAHWA ALLAH PENCIPTA, PENGATUR, PEMBERI RIZQI..

DI AMBIL KESIMPULAN, BAHWA DEFINISI SYIRIK ADALAH MENGAGUNGKAN ATAU TUNDUK PADA SESUATU DISERTAI KEYAKINAN BAHWA YANG DI TUNDUKINYA PUNYA SIFAT KETUHANAN (SEPERTI MEMBERI MANFAAT/MADOROT SECARA INDEPENDEN).

(DI NUKIL DARI KITAB ALBAROHIN SYATI-AH FIRODDI BA’DLI BID’I SYA’IAH KARYA SYEKH SALAMATUL AJAMI ROHIMAHULLAH).

Kader PKS yang Benci ASWAJA

Februari 22, 2011 2 komentar

Kader PKS yang Benci ASWAJA

Sebelum saya menguraikan hal ini, ada baiknya Anda membaca artikel dari artikelislami.wordpress.com yang satu ini untuk mengingatkan Anda bahwa da’wah ASWAJA adalah da’wah lembut.
Anggota tubuh yang kanan biasanya dianggap lebih mulya dari anggota tubuh yang kiri. Dalam Kristen, kita mengenal ungkapan “Jika ditampar pipi kirimu, maka berikanlah pipi kananmu.” Hal ini jelas diamalkan oleh Rasulullah SAW. Ketika beliau disakiti, beliau malah memberikan hal yang lebih baik dan bukannya membalas dengan yang setimpal. Padahal, membalas dengan yang setimpal itu dibolehkan. Namun dalam Al-Qur`an, memberikan maaf adalah pilihan mulya yang juga ditawarkan. Ketika diberikan dua pilihan, antara membalas atau memberi maaf, Rasulullah bukan hanya memberi maaf, tetapi juga melakukan hal yang lebih baik.
Pernah juga Nabi menjenguk non-Muslim yang sering meludahinya. Nabi bahkan menyuapi orang Yahudi buta yang sering mengumpat Nabi sambil duduk di pinggir jalan. Nabi menyuapinya sambil mendengarkan umpatan dan sumpah serapah orang buta itu terhadap beliau.
Perilaku seperti ini terus diwarisi oleh para ulama-ulama shalih yang sanad ilmu mereka bersambung kepada Rasulullah SAW. Begitulah da’wah lembut yang menjadi manhaj guru mulya, Al-Musnid Al-Habib Umar bin Muhammad Al-Hafizh. Akhlaq demikian itu pula yang mewujud pada diri Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa. Akhlaq demikian itu, kian hari kian mewarnai jiwa para murid beliau. Perubahan itu saya rasakan sendiri, dan sangat terlihat pada diri seorang sahabat saya yang sampai saat ini belum pernah saya kenali wajahnya. Sangat terlihat dari tulisan-tulisan sahabat saya itu yang biasanya sangat-sangat keras dan serampangan, kini kian melunak dan santun, namun tetap berlandaskan kebenaran.
Melalui tulisan ini, kami mengajak segenap kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah, terutama mereka yang berafiliasi dalam Majelis Rasulullah, agar terus menenangkan diri dalam menghadapi fitnah-fitnah yang dilancarkan kelompok-kelompok di luar ASWAJA dan di luar Islam.
Telah sampai kepada kami berita tentang akun facebook yang melancarkan fitnah terhadap ASWAJA dengan menggunakan profil Majelis Rasulullah, Habib Munzir dan Habib Umar al-Hafizh. Telah sampai juga kepada kami berita tentang blog yang mengarahkan orang lain kepada kesimpulan sempit blogger tersebut tentang Majelis Rasulullah dan Habib Munzir.
Aku katakan kepada diriku dan kalian, “Bersabarlah! Tabahlah! Dan teguhkan dirimu!” Karena tak lama lagi, janji Nabi Muhammad akan terlaksana, futuh Jakarta telah dekat masanya. Bersabarlah hingga kita berjumpa dengan Nabi Muhammad di haudh!
Gunakan energi dan waktu kita untuk perbaikan! Jangan buang percuma untuk menanggapi orang-orang yang masih terlena dalam pemahaman mereka yang sempit dan gelap! Mari tunjukkan ajaran ASWAJA yang sebenarnya. Dengan sendirinya, hal itu akan menjawab kekeliruan pemahaman mereka. Terus pelajari ilmu agama yang diwariskan dari generasi ulama shalih ke generasi ulama shalih, yaitu para ulama yang bersambung sanad ilmunya kepada Rasulullah secara shahih.
Jika mereka menghabiskan waktu, tenaga dan fikiran untuk membelokkan pemahaman ummat, maka berikan waktu, tenaga dan fikiran kita untuk meluruskan pemahaman mereka dan ummat dengan menunjukkan kepada mereka bagaimana ajaran ASWAJA sesungguhnya.
Semoga Allah menuangkan kesabaran kepadaku dan kalian, yaitu kesabaran yang sempurna. Aamiin.
Kita semua tahu bahwa sejak sebelum berdirinya Partai Keadilan, kelompok yang disebut dengan kelompok tarbiyyah telah sangat menentang cara-cara dan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah (ASWAJA). Kelompok tersebut, dalam halaqoh-halaqoh kecil yang mereka bentuk, terus mengajarkan anggotanya bahwa tahlilan itu bid’ah, merayakan maulid itu bid’ah, kitab shifat dua puluh itu sesat, kitab kuning itu haram dibaca, bermadzhab itu tidak perlu, dlsb.
Pada saat berdirinya Partai Keadilan, praktik-praktik seperti itu terus dilakukan. Pernah seorang petinggi PK mengatakan bahwa kitab kuning itu haram dibaca. Kemudian di Depok, ketika dipimpin oleh petinggi PK/PKS, da’wah MR sering menghadapi kesulitan. Bahkan sempat dicap sama sesatnya dengan Ahmadiyyah. Entah kenapa, kemudian gantian FPI yang mencap Majelis Rasulullah itu satu barisan dengan Ahmadiyyah. Apakah mungkin hal itu didalangi oleh intel-intel di PKS?
Lalu, muncul pula blog dari seorang kader PKS yang sangat militan. Dalam blognya, dia menulis beberapa artikel yang menyudutkan Majelis Rasulullah. Diantaranya Inilah Ustad Yang Termakan Fitnah Jamaahnya! dan Inilah Sebab Kenapa Islam Dikatakan Jorok Dan Kumal.
Dalam artikel pertama, kader PKS itu telah menyimpulkan dengan keliru atau sengaja membuat kesimpulan keliru dan kemudian melemparkan kesimpulan keliru itu untuk dibaca oleh pengunjung blognya agar pengunjung blog juga mengikuti kesimpulan keliru tersebut. Dia menganggap bahwa ustadz tersebut telah termakan fitnah jama’ahnya. Ustadz yang dia maksud adalah Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa. pengasuh Majelis Rasulullah. Dia berkata:
Suatu kali ada seorang “kader” jamaahnya mengatakan bahwa ada masjid yang sudah direbut oleh kader PKS. Lalu dengan cekatan si Ustad terlihat sangat bersemangat sekali meminta datanya untuk dibuat bukti. Tetapi sayang-sungguh disayang, si kader jamaah tersebut tidak menjawab permintaan bukti ustadnya.
Nahkan, setaraf ustad saja masih termakan fitnah jamaah. Apalagi kita-kita! Berati kita harus benar-benar belajar dalam mamahami Islam dengan baik, dengan ikhlas, bukan bermaksud jago-jagoan atau ingin dipanggil “ustad”. Namun jika melihat umur dari ustad tersebut, dan dari semangatnya. Memang seringkali umur seseorang itu menentukan “asam garamnya” kehidupan. Jadi saya tidak bisa menyalahkan atas sikap agresifnya si ustad tersebut. Karena umurnya juga baru “seumur jagung” pergerakan Islam yang lainnya.
Dia mengatakan itu tanpa menampilkan linknya. Lalu menyimpulkan semaunya. Padahal saya sepertinya pernah melihat diskusi seperti itu di web yang dia maksud. Seandainya dia berani menampilkan linknya, tentu pengunjung blog akan tahu kebusukannya. Kebetulan, saya juga pengamat Majelis Rasulullah setelah sejak lama saya mengamati PKS. Sebenarnya diskusi itu adalah diskusi lama ketika Majelis Rasulullah mendapatkan masalah di Depok dan juga di Mampang Prapatan (Jakarta Selatan). Da’wah MR sering tidak mendapatkan izin dari kader PKS yang sok berkuasa di daerah tersebut. Akhirnya Habib Munzir bertemu dengan Tifatul Sembiring untuk membahas hal tersebut. Lalu Tifatul Sembiring berjanji akan menyelesaikan hal tersebut. Tif juga mengaku bahwa di tubuh PKS memang banyak bercokol orang-orang Wahhabi, dan dia mengaku ingin membersihkan hal itu. (Apa iya Tif? You mau ngebersihin PKS dari Wahhabi? Sumpe loh?) Tif juga berkata jika ada kader PKS yang berulah lagi, tolong diminta datanya agar dapat ditangani. Nah, Habib Munzir meminta data itu adalah dalam keperluan tersebut. Bukan termakan fitnah. Ternyata suara01 itu memang omong kosong. Dan setahu saya, setelah pertemuan tersebut, da’wah MR tetap mendapat kesulitan di tempat-tempat yang dipimpin oleh kader PKS. (Basi banget nih PKS…)
Silahkan buka link berikut agar paham duduk persoalannya:
http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid&func=view&catid=9&id=7783#7783
http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=8173&catid=9&limit=25&limitstart=0
http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=8173&catid=9&limit=25&limitstart=25
Kemudian dalam artikel kedua, kader PKS itu coba membuat kritik membangun agar ummat Islam ini lebih sadar kebersihan. Tetapi yang menjadi masalah, contoh kasus yang dia angkat adalah acara di Monas yang diselenggarakan Majelis Rasulullah. Kenapa bukan acara yang lain? Mengapa bukan acara PKS yang juga memunculkan persoalan kebersihan yang sama? Bahkan PKS ini bukan hanya masalah zahirnya, tetapi bathin mereka itu lebih jorok dan lebih kumal akibat pemahaman wahhabi yang bercokol di batok kepala mereka.
Ini semua menunjukkan bahwa mereka sesungguhnya khawatir dengan perkembangan mesin da’wah ASWAJA yang semakin terlihat keberhasilannya. Sejak saya SD, satahu saya, belum ada ulama ASWAJA yang dapat mengumpulkan satu juta ummat demi mendengarkan taushiyah-taushiyah dan pemahaman ASWAJA. Alhamdu lillah yang telah menjadikan mesin-mesin da’wah ASWAJA sebagai pelopor kebangkitan pemuda ASWAJA. Semoga MR tidak disusupi oleh kader PKS yang ingin meracuni pemahaman jama’ah dengan paham mu’tazilah dan wahhabi. Karena saat ini, PKS telah berhasil menyusup ke Masjid Al-Barkah, ke pengajian yang diasuh oleh KH. Abdur Rasyid bin Abdullah Asy-Syafi’i. Mereka menyusup ke sana mirip sekali dengan Ulil Abshar Abdalla yang menikahi puteri Gus Mus (KH. Musthofa Bishri). Kader PKS yang kini menjadi pemimpin Lombok, setelah menikah dengan puteri KH Abdur Rasyid, mulai menyusupkan pemahaman-pemahaman PKS ke sana. Hal yang paling mencolok adalah ketika KH. Abdur Rasyid membagi-bagikan keliping berupa sejarah Hasan Al-Banna dan Ikhwanul Muslimin. Bahkan beliau membagi-bagikan al-Ma’tsurat susunan Hassan Al-Banna kepada jama’ah untuk diamalkan. Semoga KH. Abdur Rasyid menyadari kekeliruannya yang mengagumi Hassan Al-Banna. Manusia memang tempatnya salah dan lupa, namun semoga KH. Abdur Rasyid selalu dilindungi dari paham-paham berbahaya seperti paham yang dibawa PKS ini dan juga paham-paham radikal yang coba disuntikkan ke pergerakan-pergerakan Muslimin.
Oleh sebab itu, jangan terprovokasi dengan ulah mereka yang coba meradikalisasi organisasi-organisasi Muslimin. Jika kader PKS membuat artikel nyeleneh yang menyakiti kita, janganlah kita terpancing untuk membuat komentar-komentar keras di blognya. Tetaplah lembut seperti Rasulullah yang membalas keburukan dengan kebaikan. Lagi pula, saya pernah berkomentar di blog suara01 dengan maksud menasihati, tetapi komentar saya yang berisi nasihat itu tidak dimunculkan, malah yang muncul seperti ini:
Jawab Abu Jaisy:
Maaf, menghujat, mencela sesama muslim melanggar peraturan komentar blog ini. Jika anda muslim, semoga Allah memberikan kesadaran kepada anda. Amien. Untuk yang terakhir diatas kami hapus. Semoga Allah memberi hidayah atas ketidaksadaran hinaan, celaan dan makian anda. Terima kasih telah berkunjung.
Sekarang Anda bisa menilai bagaimana perangai suara01 si kader PKS itu kan? Dia tidak menampilkan komentar saya, malah menampilkan jawabannya yang seakan-akan menunjukkan bahwa komentar saya itu berisi hujatan yang tak layak ditampilkan. Tetapi lihat komentar lainnya yang sebenarnya menyudutkan MR, malah dia tampilkan.
Maka dari itu, tidak perlu kita berkomentar di blog omong kosong macam itu. Sebaiknya kita doakan saja agar dia bertaubat dan masuk ke dalam ASWAJA dan turut mendukung da’wah ASWAJA. Doakan saja agar dia tidak lagi menafsirkan Al-Qur`an dengan methode serampangan gaya PKS dan semoga dia tidak lagi berijtihad semaunya. Semoga dia menjadi ASWAJA yang benar, mau bermadzhab, dan mau mengakui dirinya sebagai orang yang lemah aqal yang belum pantas berijtihad atau pun menafsirkan Al-Qur`an. Aamiin..
Kategori:aswaja Tag:, ,

BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI MAULID AL-HABIB SAW

Februari 22, 2011 Tinggalkan komentar

BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI MAULID AL-HABIB SAW

الردِ على من أنكر الاحتِفال بِذِكرى مولِدِ الحبيب
المولِد سنةٌ حسنةٌ وأول من عمِل بِهِ المسلِمون وليس كما قيل إِن أصله هو أن أناسًا كانوا يحتفِلون بِوفاتِهِ صلى الله عليه وسلم. فقد ذكر الحفاظ والعلماء مِن أصحابِ التوارِيخِ وغيرِهِم أن أول منِ استحدث عمل المولِدِ هو الملِك المظفر الذي كان يحكم إِربِل، وهو ورِعٌ، صالِحٌ، عالِمٌ، شجاعٌ، ذو عِنايةٍ بِالجِهادِ، كان من الأبطالِ، مات وهو يحاصِر الفِرِنج بِعكا، هو أول من استحدث هذا الأمر، ثم وافقه العلماء والفقهاء، حتى علماء غيرِ بلدِهِ الذين لا يحكمه، ذكر ذلِك الحافِظ السِيوطِي في كِتابِهِ الأوائِلِ، ولا زال المسلِمون على ذلِك منذ ثمانِمِائةِ سنةٍ حتى الآن. فأي أمرٍ استحسنه علماء أمةِ محمدٍ وأجمعوا عليهِ فهو حسنٌ وأي شىءٍ استقبحه علماء أمةِ محمدٍ فهو قبيحٌ، ومعلومٌ أن علماء الأمةِ لا يجتمِعون على ضلالةٍ لِحديثِ: “إِن أمتي لا تجتمِع على ضلالةٍ” رواه ابن ماجه في سننِهِ.

بِسمِ اللهِ الذي أرسل لنا من بِالحقِ سن، والحمد للهِ الذي جعل لنا مِن البِدعِ ما هو حسنٌ، والصلاة والسلام على صاحِبِ الصوتِ والوجهِ الحسنِ، أبي القاسِمِ جدِ الحسينِ والحسنِ. أما بعد فهذا بيان جوازِ الاحتِفالِ بِالمولِدِ وأن فيهِ أجرًا وثوابًا. نقول متوكِلين على اللهِ:
1- البِدعة: لغةً هي ما أحدِث على غيرِ مِثالٍ سابِقٍ وشرعًا المحدث الذي لم ينص عليهِ القرءان ولا الحديث.
2- الدليل مِن القرءانِ الكريم على البِدعةِ الحسنةِ:
قوله تعالى في مدحِ المؤمنين مِن أمةِ سيِدِنا عيسى عليه السلام: قال تعالى (وجعلنا في قلوب الذين اتبعوه رأفةً ورحمةً ورهبانِيةً ابتدعوها ما كتبناها عليهِم إِلا ابتِغاء رِضوانِ الله ﴾ [سورة الحديد، 27]، فالله امتدح المسلِمِين الذين كانوا على شريعةِ عيسى عليه السلام لأنهم كانوا أهل رحمةٍ ورأفةٍ ولأنهم ابتدعوا الرهبانية وهِي الانقِطاع عنِ الشهواتِ المباحةِ زيادةً على تجنبِ المحرماتِ، حتى إنهم انقطعوا عنِ الزِواجِ وتركوا اللذائِذ مِن المطعوماتِ والثِيابِ الفاخِرةِ وأقبلوا على الآخِرةِ اقبالاً تامًا، فالله امتدحهم على هذِهِ الرهبانِيةِ مع أن عيسى عليه السلام لم ينص لهم عليها. أما قوله تعالى في بقِيةِ الآيةِ: ﴿ فما رعوها حق رِعايتِها ﴾ [سورة الحديد، 27] فليس فيها ذمٌ لهم ولا لِلرهبانِيةِ التي ابتدعها أولئِك الصادِقون المؤمِنون بل ذمٌ لِمن جاء بعدهم مِمن قلدهم في الانقِطاعِ عنِ الشهواتِ مع الشِركِ أي مع عِبادةِ عيسى عليه السلام وأمِهِ.

3- الدليل مِن السنةِ المطهرةِ على البِدعةِ الحسنةِ:
قوله صلى الله عليه وسلم: “من سن في الإسلامِ سنةً حسنةً فله أجرها وأجر من عمِل بِها بعده مِن غيرِ أن ينقص مِن أجورِهِم شىءٌ، ومن سن في الإسلامِ سنةً سيِئةً كان عليهِ وِزرها ووِزر من عمِل بِها مِن بعدِهِ مِن غيرِ أن ينقص مِن أوزارِهِم شىءٌ”، رواه مسلِمٌ في صحيحِهِ مِن حديثِ جريرِ بنِ عبدِ اللهِ البجلِيِ رضي الله عنه. فأفهم هذا الحديث أن الرسول صلى الله عليه وسلم هو الذي علم أمته أن البِدعة على ضربينِ: بدعة ضلالةٍ: وهِي المحدثة المخالِفة لِلقرءانِ والسنةِ. وبِدعة هدًى: وهِي المحدثة الموافِقة لِلقرءانِ والسنةِ. فإن قيل: هذا معناه من سن في حياةِ رسولِ اللهِ أما بعد وفاتِهِ فلا، فالجواب أن يقال: “لا تثبت الخصوصِية إلا بِدلِيلٍ” وهنا الدليل يعطِي خِلاف ما يدعون حيث إِن رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم قال: “من سن في الإسلام” ولم يقل من سن في حياتِي ولا قال من عمِل عملاً أنا عمِلته فأحياه، ولم يكنِ الإسلام مقصورًا على الزمنِ الذي كان فيهِ رسول الله، فبطل زعمهم. فإِن قالوا: الحديث سببه أن أناسًا فقراء شديدي الفقرِ يلبسون النِمار جاؤوا فتمعر وجه رسولِ اللهِ لِما رأى مِن بؤسِهِم فتصدق الناس حتى جمعوا لهم شيئًا كثيرًا فتهلل وجه رسولِ اللهِ فقال: “من سن في الإسلامِ سنةً حسنةً فله أجرها وأجر من عمِل بِها”، فالجواب أن يقال: العِبرة بِعمومِ اللفظِ لا بِخصوصِ السببِ كما ذكر علماء الأصولِ.

4- الدليل مِن أقوالِ وأفعالِ الخلفاءِ الراشدين على البِدعةِ الحسنةِ:
فقد أحدث الخلفاء الراشدون المرضِيون أشياء لم يفعلها الرسول صلى الله عليه وسلم ولا أمر بِها مِما يوافِق الكِتاب والسنة فكانوا قدوةً لنا فيها، فهذا أبو بكرٍ الصِديق يجمع القرءان ويسمِيهِ بِالمصحفِ، وهذا عمر بن الخطابِ يجمع الناس في صلاةِ التراويحِ على إمامٍ واحِدٍ ويقول عنها: “نِعمتِ البِدعة هذِهِ”، وهذا عثمان بن عفان يأمر بِالأذانِ الأولِ لِصلاةِ الجمعةِ، وهذا الإمام عليٌ ينقط المصحف ويشكل في زمانِهِ على يدِ يحيى بنِ يعمر، وهذا عمر بن عبِدِ العزيزِ يعمل المحارِيب والمآذِن لِلمساجِدِ. كل هذِهِ لم تكن في زمانِ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فهل سيمنعها المانِعون لِلمولِدِ في أيامِنا هذِهِ أو أنهم سيتحكمون فيستبِيحون أشياء ويحرِمون أشياء؟! وقد فعلوا ذلِك فإِنهم حرموا المولِد وأباحوا نقط المصحفِ وتشكيله وأباحوا أشياء كثيرةً مِما لم يفعلها الرسول صلى الله عليه وسلم كالرزناماتِ -مواقيتِ الصلواتِ- التي لم تظهر إلا قبل نحوِ ثلاثِمِائةِ عامٍ وهم يشتغِلون بِها وينشرونها بين الناسِ.

5- الدليل مِن أقوالِ علماءِ السلف على البِدعةِ الحسنةِ:
قال الإمام الشافِعي رضِي الله عنه: “المحدثات مِن الأمورِ ضربانِ أحدهما ما أحدِث مِما يخالِف كِتابًا أو سنةً أو إِجماعًا أو أثرًا فهذِهِ البِدعة الضلالة والثانِية ما أحدِث مِن الخيرِ ولا يخالِف كِتابًا أو سنةً أو إِجماعًا وهذِهِ محدثةٌ غير مذمومةٍ” رواه البيهقِي بالإسنادِ الصحيحِ في كِتابِهِ مناقِب الشافِعِيِ. ومعلومٌ أن المحدِثين أجمعوا على أن الشافِعِي رضي الله عنه هو المقصود بِقولِهِ صلى الله عليه وسلم: “عالِم قريشٍ يملأ طِباق الأرضِ عِلما” رواه التِرمِذِي. أما البيهقِي فهو مِن الحفاظِ السبعةِ الذين اتفِق على عدالتِهِم.

6- المولد هو شكرٌ للهِ تعالى على أنه أظهر محمدًا في مِثلِ هذا الشهر، ليس عِبادةً لِمحمدٍ، نحن لا نعبد محمدًا ولا نعبد شيئًا سِوى اللهِ، لكِن نعظِم تعظيمًا فقط، نعظِم محمدًا أكثر مِن غيرِهِ مِن الأنبياءِ والملائِكةِ، ثم نعظِم كل الأنبياءِ ولا نعبد واحِدًا مِنهم، لا نعبد محمدًا ولا أي ملكٍ ولا أي نجمٍ ولا الشمس ولا القمر، نِهاية التذللِ عِندنا لله، نضع جِباهنا بِالأرضِ ونقدِسه، نِهاية التذللِ هِي العِبادة، هذِهِ نحن لا نفعلها لِسيِدِنا محمدٍ، إِنما نحن عِبادتنا للهِ، نحن لا نعبد محمدًا بل نعتبِر محمدًا داعِيًا إلى اللهِ، هدى الناس ويستحِق التعظيم، أقل مِن العِبادةِ، أقل مِن أن يعبد، والله تعالى امتدح الذين ءامنوا بِهِ صلى الله عليه وسلم وعزروه أي عظموه فقال عز وجل: ﴿ فالذِين ءامنوا بِهِ وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزِل معه أولئِك هم المفلِحون ﴾ [سورة الأعراف، 157]. المولِد فيهِ اجتِماعٌ على طاعةِ اللهِ، اجتِماعٌ على حبِ اللهِ وحبِ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، اجتِماعٌ على ذِكرِ اللهِ وذِكرِ شىءٍ مِن سيرةِ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ونسبِهِ الشريفِ، وشىءٍ مِن صِفاتِهِ الخلقِيةِ والخلقِيةِ، وفيهِ إِطعام الطعامِ لِوجهِ اللهِ تبارك وتعالى والله تعالى يقول: ﴿ ويطعِمون الطعام على حبِهِ مِسكِينًا ويتِيمًا وأسِيرًا ﴾ [سورة الإنسان، 8]، بعد هذا كيف يحرِم شخصٌ يدعي العِلم عمل المولِدِ فرحًا بِوِلادةِ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟!

7- الأصل الذي استخرجه الحافِظ ابن حجرٍ مِن السنةِ على جوازِ عملِ المولِدِ في كِتابِهِ الحاوِي لِلفتاوي (1/189-197):
ما رواه ابنِ عباسٍ رضي الله عنهما قال: لما قدِم النبِي صلى الله عليه وسلم المدينة وجد اليهود يصومون يوم عاشوراء، فسئلوا عن ذلِك، فقالوا: “هو اليوم الذي أظهر الله موسى وبني إسرائيل على فِرعون ونحن نصومه تعظيمًا له”، فقال رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم: “نحن أولى بِموسى” وأمر بِصومِهِ أمر استِحبابٍ. فيستفاد مِن هذا الحديثِ فِعل الشكرِ للهِ تعالى على ما تفضل بِهِ في يومٍ معينٍ مِن حصولِ نِعمةٍ أو رفعِ نِقمةٍ، ويعاد ذلِك في نظيرِ ذلِك اليومِ مِن كلِ سنةٍ، والشكر للهِ يحصل بِأنواعِ العِبادةِ كالسجودِ والصِيامِ والصدقةِ والتِلاوةِ، وأي نِعمةٍ أعظم مِن نِعمةِ بروزِ النبيِ صلى الله عليه وسلم.

8- الأصل الذي استخرجه الحافِظ السِيوطِي مِن السنةِ على جوازِ عملِ المولِدِ في رِسالتِهِ”حسن المقصِدِ في عملِ المولِدِ”:
قوله صلى الله عليه وسلم: “ذاك يومٌ ولِدت فيهِ وفيهِ أنزِل علي”، لما سئِل عليهِ الصلاة والسلام عن سببِ صِيامِهِ لِيومِ الاثنينِ. وفي هذا الحديثِ إِشارةٌ إِلى استِحبابِ صِيامِ الأيامِ التي تتجدد فِيها نِعم اللهِ تعالى على عِبادِهِ، وإن مِن أعظمِ النِعمِ التي أنعم الله بِها علينا إِظهاره صلى الله عليه وسلم وبِعثته وإرساله إِلينا، ودليل ذلِك مِن قولِهِ تعالى: ﴿ لقد من الله على المؤمِنين إِذ بعث فِيهِم رسولاً مِن أنفسِهِم ﴾ [سورة ءال عمران، 164]. قال الحافِظ السِيوطي في رِسالتِهِ “وقدِ استخرج له – أي المولِدِ – إِمام الحفاظِ أبو الفضلِ أحمد بن حجرٍ أصلاً مِن السنةِ واستخرجت له أنا أصلاً ثانيًا ….” اهـ.

9- المولِد سنةٌ حسنةٌ وأول من عمِل بِهِ المسلِمون وليس كما قيل إِن أصله هو أن أناسًا كانوا يحتفِلون بِوفاتِهِ صلى الله عليه وسلم:
فقد ذكر الحفاظ والعلماء مِن أصحابِ التوارِيخِ وغيرِهِم أن أول منِ استحدث عمل المولِدِ هو الملِك المظفر الذي كان يحكم إِربِل، وهو ورِعٌ، صالِحٌ، عالِمٌ، شجاعٌ، ذو عِنايةٍ بِالجِهادِ، كان من الأبطالِ، مات وهو يحاصِر الفِرِنج بِعكا، هو أول من استحدث هذا الأمر، ثم وافقه العلماء والفقهاء، حتى علماء غيرِ بلدِهِ الذين لا يحكمه، ذكر ذلِك الحافِظ السِيوطِي في كِتابِهِ الأوائِلِ، ولا زال المسلِمون على ذلِك منذ ثمانِمِائةِ سنةٍ حتى الآن. فأي أمرٍ استحسنه علماء أمةِ محمدٍ وأجمعوا عليهِ فهو حسنٌ وأي شىءٍ استقبحه علماء أمةِ محمدٍ فهو قبيحٌ، ومعلومٌ أن علماء الأمةِ لا يجتمِعون على ضلالةٍ لِحديثِ: “إِن أمتي لا تجتمِع على ضلالةٍ” رواه ابن ماجه في سننِهِ.

10- المولِد سنةٌ حسنةٌ ولا يقال عنه لو كان خيرًا لدل الرسول أمته عليهِ:
فجمع المصحفِ ونقطه وتشكيله عمل خيرٍ مع أنه صلى الله عليه وسلم ما نص عليهِ ولا عمِله. فهؤلاءِ الذين يمنعون عمل المولِدِ بِدعوى أنه لو كان خيرًا لدلنا الرسول عليهِ وهم أنفسهم يشتغِلون في تشكيلِ المصحفِ وتنقيطِهِ يقعون في أحدِ أمرينِ: فإِما أن يقولوا إِن نقط المصحفِ وتشكيله ليس عمل خيرٍ لأن الرسول ما فعله ولم يدل الأمة عليهِ ومع ذلِك نحن نعمله، وإِما أن يقولوا إن نقط المصحفِ وتشكيله عمل خيرٍ لو لم يفعله الرسول ولم يدل الأمة عليهِ لِذلِك نحن نعمله. وفي كِلا الحالينِ ناقضوا أنفسهم.

11- المولِد سنةٌ حسنةٌ ولا يقال الرسول لم يأتِ بِه فلا نعمله احتِجاجًا بِقولِهِ تعالى: “وما ءاتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا”:
فليس كل أمرٍ لم يأمرنا بِهِ الرسول ولا نهانا عنه فهو حرامٌ، فالرسول لم يأمرنا بِنقطِ المصحفِ ولا نهانا عنه فليس حرامًا علينا عمله لأنه موافِقٌ لِدينِهِ صلى الله عليه وسلم، كذلِك عمل المولِدِ الرسول لم يأمرنا بِهِ ولا نهانا عنه فليس حرامًا علينا عمله لأنه موافِقٌ لِدِينِهِ صلى الله عليه وسلم. الحاصِل ليست كل أمورِ الدِينِ جاءت نصًا صريحًا في القرءانِ أو في الحديثِ، فلو لم يوجد فيهِما فلِعلماءِ الأمةِ المجتهِدين أهلِ المعرِفةِ بِالحديثِ أن يستنبِطوا أشياء توافِق دينه صلى الله عليه وسلم، ويؤيِد ذلِك قوله صلى الله عليه وسلم: “من سن في الإسلامِ سنةً حسنةً فله أجرها…”، فيستفاد مِن هذا الحديثِ أن الله تبارك وتعالى أذِن للمسلمين أن يحدِثوا في دينِهِ ما لا يخالِف القرءان والحديث فيقال لذلك سنةٌ حسنةٌ.

12- المولِد سنةٌ حسنةٌ وليس داخِلاً تحت نهيٍ مِنه صلى الله عليه وسلم بِقولِهِ: “من أحدث في أمرِنا هذا ما ليس مِنه فهو ردٌ”:
لأنه صلى الله عليه وسلم أفهم بِقولِهِ: “ما ليس مِنه” أن المحدث إِنما يكون ردًا أي مردودًا إِذا كان على خِلافِ الشريعةِ، وأن المحدث الموافِق لِلشريعةِ ليس مردودًا. فالرسول لم يقل من أحدث في أمرِنا هذا فهو ردٌ بل قيدها بِقولِهِ: “ما ليس مِنه” لِيبيِن لنا أن المحدث إِن كان مِنه (أي موافِقًا لِلشرعِ) فهو مشروعٌ وإِن لم يكن مِنه (أي لم يكن موافِقًا لِلشرعِ) فهو ممنوعٌ. ولما كان عمل المولِدِ أمرًا مشروعًا بِالدليلِ النقلِيِ مِن قرءانٍ وسنةٍ ثبت أنه ليس بِمردودٍ.

13- المولِد سنةٌ حسنةٌ وليس فيهِ إشارةٌ إلى أن الدِين لم يكتمِل ولا تكذيبًا لِقولِهِ تعالى: ﴿ اليوم أكملت لكم دِينكم ﴾ [سورة المائدة، 2]:
لأن معناها أن قواعِد الدِينِ تمت، قال القرطبِي في تفسيرِهِ: “وقال الجمهور: المراد معظم الفرائِضِ والتحليلِ والتحريمِ، قالوا: وقد نزل بعد ذلِك قرءانٌ كثيرٌ، ونزلت ءاية الرِبا ونزلت ءاية الكلالةِ إلى غيرِ ذلِك”. ثم إِن هذِهِ الآية ليست هِي ءاخِر ءايةٍ نزلت مِن القرءانِ بل ءاخِر ءايةٍ نزلت هِي قوله تعالى: ﴿ واتقوا يومًا ترجعون فيهِ إِلى اللهِ ثم توفى كل نفسٍ ما كسبت وهم لا يظلمون ﴾ [سورة البقرة، 285] ذكر ذلِك القرطبِي في تفسيرِهِ عنِ ابنِ عباسٍ رضِي الله عنهما.

14- المولِد سنةٌ حسنةٌ وليس فيهِ اتهامٌ لِرسولِ اللهِ بِالخِيانةِ بِدعوى أنه لم يعرِف أمته بِهِ كما زعم المانعون لِلمولِدِ:
فإِن كان كل فِعلٍ أحدِث بعد الرسولِ لم يعرِفِ النبِي أمته بِهِ مِما هو موافِقٌ لِلقرءانِ والسنةِ يكون فيه اتهامٌ لِلرسولِ بِالخِيانةِ فعلى قولِكم أبو بكرٍ وعمر وعثمان وعلِيٌ وعمر بن عبدِ العزيزِ وصفوةٌ مِن علماءِ الأمةِ اتهموا الرسول بِالخِيانةِ لأنهم أحدثوا أشياء موافِقةً للقرءانِ والسنةِ مِما لم يعرِفِ الرسول أمته بِها. أما استِشهادكم بِما تنسبونه للإمامِ مالِكٍ مِن أنه قال: “منِ ابتدع في الإسلامِ بِدعةً يراها حسنةً فقد زعم أن محمدًا صلى الله عليه وسلم خان الرِسالة” فمعناه البِدعة المحرمة كعقيدةِ التشبيهِ والتجسيم وليس في المولِدِ وما أشبه. ثم أنتم تستشهِدون بِقولِ الإمامِ مالِكٍ وأنتم تكفِرونه معنًى وإن لم تكفِروه لفظًا، لأن الخليفة المنصور لما جاء المدينة سأله: “يا أبا عبدِ الله أستقبِل القِبلة وأدعو أم أستقبِل رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قال: ولِم تصرِف وجهك عنه وهو وسِيلتك ووسيلة أبيك ءادم عليه السلام إلى اللهِ تعالى؟ بلِ استقبِله واستشفِع بِهِ فيشفِعه الله”، وهذا عِندكم شِركٌ وضلالٌ مبين. رميتم علماء الأمةِ بالشِركِ ثم استشهدتم بِأقوالِهِم.

15- المولِد سنةٌ حسنةٌ ولا يمنع بِدعوى أن فيهِ مشابهةً لِلنصارى في احتِفالِهِم بِمولِدِ عيسى عليه السلام:
لأن ما يوافِق دِين اللهِ مِما عمِله أولئك اليهود أوِ النصارى إِن نحن عمِلناه فهو مرخصٌ لنا بِخِلافِ ما فعلوه مِما لا يوافِق دِين اللهِ، أليس الرسول صلى الله عليه وسلم لما رأى اليهود تصوم يوم عاشوراء لما قدِم المدينة وقالوا: “هذا يومٌ أغرق الله فِرعون ونصر موسى” قال صلى الله عليه وسلم: “نحن أولى بِموسى مِنكم” وأمر بِصومِهِ، ما قال لا تصوموا عاشوراء اليهود تصومه هذا تشبهٌ بِهِم، بل أمر أمته بِصومِهِ، نعظِم هذا اليوم كما أتباع موسى عظموا ذلِك اليوم، يوم عاشوراء.

16- المولِد سنةٌ حسنةٌ ومنِ اشترط لِجوازِهِ أن يكون الرسول صلى الله عليه وسلم عمِله فشرطه باطِلٌ:
كما أن نقط المصحفِ سنةٌ حسنةٌ ومنِ اشترط لِجوازِهِ أن يكون الرسول صلى الله عليه وسلم عمِله فشرطه باطِلٌ لأن هذينِ الشرطينِ لا أصل لهما في دينِ اللهِ تعالى والرسول صلى الله عليه وسلم يقول: “كل شرطٍ ليس في كِتابِ اللهِ تعالى فهو باطِلٌ وإِن كان مِائة شرطٍ”، رواه البزار عنِ ابنِ عباسٍ رضي الله عنهما.

17- المولِد سنةٌ حسنةٌ وليس داخِلاً في البِدعِ التي نهى عنها رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم بِقولِهِ: “وكل بِدعةٍ ضلالةٌ”:
قال الحافِظ العِراقِي في ألفِيتِهِ “وخير ما فسرته بِالوارِدِ” معناه أحسن ما يفسر بِهِ الوارِد الوارِد، وقال العلماء إِن أحسن تفسيرٍ ما وافق السِياق، وسِياق الحديثِ ابتدأه الرسول بِقولِهِ “فإِن أحسن الحدِيثِ كِتاب اللهِ” معناه أحسن الكلامِ كلام اللهِ، “وأحسن الهديِ هدي محمدٍ” معناه أحسن السِيرِ سِيرة محمدٍ، ثم قال “وشر الأمورِ محدثاتها” الحدِيث، فيكون المعنى إِن شر الأمورِ المحدثات التي خالفت أحسن الحديثِ وأحسن الهديِ وهِي بِدعة الضلالة، فلا دخل لِلبِدعةِ الحسنةِ في ذلِك الذمِ المذكورِ. قال النووي في شرحِ صحيحِ مسلِمٍ (المجلدِ السادِسِ في صحيفةِ مِائةٍ وأربعةٍ وخمسين) ما نصه: “قوله صلى الله عليه وسلم: “وكل بِدعةٍ ضلالةٌ” هذا عامٌ مخصوصٌ (أي لفظه عامٌ ومعناه مخصوصٌ)، والمراد بِهِ غالِب البِدعِ” وقال أيضًا: “ولا يمنع مِن كونِ الحديثِ عامًا مخصوصًا قوله: “كل بِدعةٍ” مؤكِدًا بِكل، بل يدخله التخصيص مع ذلِك كقولِهِ تعالى: ﴿ تدمِر كل شىء ﴾ [سورة الأحقاف، 25]” ا.هـ. فهذِهِ الآية لفظها عامٌ ومعناها مخصوصٌ لأن هذِهِ الرِيح التي ورد أنها تدمِر كل شىءٍ سخرها الله على الكافِرين مِن قومِ عادٍ فأهلكتهم ولم تدمِر كل من على وجهِ الأرضِ لأن الله تعالى أخبرنا أنه نجى هودًا عليه السلام ومن معه مِن المؤمِنين، قال تعالى: ﴿ ولما جآء أمرنا نجينا هودًا والذِين ءامنوا معه بِرحمةٍ مِنا ونجيناهم مِن عذابٍ غلِيظٍ ﴾ [سورة هود، 58]. ومِن الأمثِلةِ على العامِ المخصوصِ قول الرسولِ صلى الله عليه وسلم :”كل عينٍ زانيةٌ” ومعلومٌ شرعًا أن هذا الحديث لا يشمل أعين الأنبياءِ عليهِم الصلاة والسلام لأن الله تعالى عصمهم مِن ذلِك لِقولِهِ تعالى: ﴿ وكلاً فضلنا على العالمين ﴾ [سورة الأنعام، 86]. وقد ورد في الحديثِ الصحيحِ الذِي رواه أبو داوود في سننِهِ في بابِ ذِكرِ الصورِ والبعثِ أنه صلى الله عليه وسلم: “كل ابنِ ءادم تأكل الأرض إلا عجب الذنبِ مِنه خلِق وفِيهِ يركب” وهذا يؤيِد أن كلِمة كل لا تأتي دائِمًا لِلشمولِ الكلِيِ بِدلِيلِ أن الرسول صلى الله عليه وسلم قال: “إِن الله حرم على الأرضِ أن تأكل أجساد الأنبِياء”. فيكون معنى “كل ابنِ ءادم تأكل الأرض” الأغلب لأن الرسول استثنى في الحديثِ الآخرِ الأنبِياء.

19- المولِد سنةٌ حسنةٌ وليس داخِلاً في قولِهِ صلى الله عليه وسلم: “لتتبِعن سنن الذين قبلكم”:
لأن معنى الحديثِ مِما حصل مِن أمورٍ دنيوِيةٍ، أليس الآن الناس في أثاثِ المنازِلِ والأزياءِ وأمورٍ كثيرةٍ قِسمٌ مِنه مباحٌ ليس محرمًا وقِسمٌ محرمٌ اتبعت هؤلاءِ، اليوم الأمة اتبعت هؤلاءِ في أشياء محرمةٍ وفي أشياء غيرِ محرمةٍ إنما هِي توسعٌ في الدنيا.

20- المولِد سنةٌ حسنةٌ وليس داخِلاً في الإطراءِ الذي نهانا عنه الرسول صلى الله عليه وسلم بِقولِهِ: “لا تطروني كما أطرتِ النصارى المسيح ابن مريم”:
لأن معناه لا ترفعوني فوق منزِلتي كما رفعتِ النصارى عيسى فوق منزِلتِهِ، جعلوه إلـهًا خالِقًا. أما عملنا لِلمولِدِ ليس رفعًا لِلرسولِ فوق منزِلتِهِ بل هو شكرٌ لله تعالى على ولادتِهِ صلى الله عليه وسلم. فإِذًا قوله صلى الله عليه وسلم: “لا تطروني” ليس معناه لا تمدحوني على الإطلاقِ، بلِ الحق أن يقال ما كان غلوًا فهو ممنوعٌ وما لم يكن كذلِك فليس بِممنوعٍ، وإلا كيف أذِن الرسول صلى الله عليه وسلم لِعمِهِ العباسِ رضي الله عنه أن يمدحه بل ودعى له، فقد ثبت بِالإسنادِ الحسنِ فِيما رواه ابن حجرٍ في الأماليِ أن الرسول صلى الله عليه وسلم قال له عمه العباس رضي الله عنه: “يا رسول الله إِنِي امتدحتك بِأبياتٍ”، فقال رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم: “قلها لا يفضضِ الله فاك” فكان مِما قاله العباس رضي الله عنه في مدحِ النبِيِ صلى الله عليه وسلم: “وأنت لما ولِدت أشرقتِ الأرض وضاءت بِنورِك الأفق”.

21- المولِد سنةٌ حسنةٌ وليس فيهِ اختِزالٌ لِمحبتِهِ صلى الله عليه وسلم في يومٍ واحِدٍ:
أليس الرسول صلى الله عليه وسلم قال لِليهودِ: “نحن أولى بِموسى مِنكم” وأمر بِصومِ عاشوراء، فهل يكون الرسول بِذلِك اختزل محبة موسى عليه السلام في يومٍ واحِدٍ فقط؟!

22- المولِد سنةٌ حسنةٌ وليس فيهِ قدحٌ لِصحابتِهِ صلى الله عليه وسلم بِزعمِ أن فيهِ إِشارةً إلى أننا نحِبه أكثر مِنهم:
فالرسول صلى الله عليه وسلم ما جمع القرءان في كتابٍ واحِدٍ بل أبو بكرٍ الصِديق هو الذي جمعه وسماه المصحف، ولم ينكِر عليهِ أحدٌ مِن الصحابةِ بِحجةِ أن فِعله هذا يشير إلى أنه يحِب القرءان أكثر مِن رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم. ثم أليس العلماء قالوا: “المزِية لا تقتضي التفضيل”، فإن كان أبو بكرٍ الصِديق جمع القرءان والرسول لم يجمعه في كِتابٍ واحِدٍ على هيئتِهِ اليوم فهذا لا يعني أنه أفضل مِن رسولِ الله صلى الله عليه وسلم، وإن كان عمر بن الخطابِ جمع الناس في صلاةِ التراويحِ على إمامٍ واحِدٍ وأبو بكرٍ لم يفعله فهذا لا يعني أنه أفضل مِن أبي بكرٍ، وإن كان عثمان بن عفان أمر بالأذانِ الأولِ لِصلاةِ الجمعةِ وعمر لم يفعله فهذا لا يعني أنه أفضل مِن عمر، كذلِك عمل المولِدِ إِن نحن عمِلناه لكِن الصحابة ما عمِلوه فمجرد هذا لا يعني أننا أفضل مِنهم ولا أننا نحِبه صلى الله عليه وسلم أكثر مِنهم.

23- المولِد سنةٌ حسنةٌ وإِظهارنا لِلفرحِ والسرورِ في مِثلِ هذا اليوم بِوِلادتِهِ وبِعثتِهِ صلى الله عليه وسلم ليس قدحًا في محبتِنا له صلى الله عليه وسلم لِمجردِ أن يوم وفاتِهِ صلى الله عليه وسلم كان في نظيرِ يومِ وِلادتِهِ صلى الله عليه وسلم كما زعم المانِعون لِلمولِدِ:
فما استندوا عليهِ ليس لهم فيهِ متمسكٌ لأن أيام الأسبوعِ على مرِ العصورِ لا يخلو مِنها يومٌ إِلا وحصل فيهِ حادِثٌ أو مصيبةٌ ألمت بِالمسلمين وأحزنتهم، فعلى قولِكم المسلِمون لا يحتفِلون بِعرسٍ ولا بِعيدٍ لأنه قد يكون في مِثلِ اليومِ الذي مات فيهِ الرسول صلى الله عليه وسلم أو في مِثلِ اليومِ الذي كسِرت رباعِيته وشقت شفته الشريفة صلى الله عليه وسلم كما حصل في غزوةِ أحدٍ. الحاصِل أن ما ادعيتموه لا يقبله العقل ولا النقل. ثم أليس الرسول صلى الله عليه وسلم قال: “خير يومٍ طلعت عليهِ الشمس يوم الجمعةِ فيهِ خلِق ءادم وفيهِ أدخِل الجنة وفيه أخرِج مِنها” رواه مسلِمٌ في الصحيحِ، فتفضيل الرسولِ صلى الله عليه وسلم لِيومِ الجمعةِ وتفضيلنا لِهذا اليومِ ليس فيهِ قدحٌ في محبتِنا لآدم عليه السلام مع أنه نظير اليومِ الذي أخرِج فيهِ مِن الجنةِ، كذلِك تعظيمنا لِيومِ عاشوراء لِقولِهِ صلى الله عليه وسلم: “نحن أولى بِموسى مِنكم” وأمر بِصومِهِ ليس فيهِ قدحٌ في محبتِنا لِسيِدِ شبابِ أهلِ الجنةِ الحسينِ بنِ عليٍ رضي الله عنهما مع أنه نظير اليومِ الذي قتِل فيهِ، كذلِك إِظهارنا لِلفرحِ في مِثلِ يومِ مولِدِهِ صلى الله عليه وسلم ما فيهِ قدحٌ لِمحبتِنا له صلى الله عليه وسلم مع أن وفاته كانت في مِثلِ هذا اليومِ.

24- المولِد سنةٌ حسنةٌ ولا نحرِمه بِسببِ ما يفعله بعض الجهلةِ فيهِ:
فمعلومٌ أن الحج في أيامِنا هذِهِ ومِن قبل يحصل فيهِ منكراتٌ مِن بعضِ الجهلةِ حتى إِنه ومنذ زمنٍ قال بعض العلماءِ: “ما أكثر الضجيج وأقل الحجيج”، كل هذا لم يكن سببًا لِتحرِيمِ الحجِ أو منعِ الناسِ مِنه، كذلِك سائِر العِباداتِ، كذلِك المولِد إن حصل فيهِ منكراتٌ مِن بعضِ الجهلةِ فلا نحرِمه على الإطلاقِ بل نحرِم ما يفعله الجهلة فيهِ مِما يخالِف دين الله. ثم إِن حصل فسادٌ في مسجِدٍ أيغلق المسجِد أم ينهى عنِ الفسادِ الذي فعِل فيهِ؟

25- الحاصِل أن عمل المولِدِ خيرٌ وبركةٌ، هذا ليس شيئًا يرد الأمة إِلى الوراءِ، ليس شيئًا يؤخِر، هذا يجدِد حب النبِيِ صلى الله عليه وسلم في المسلِمِ، يبث فيهِ الشعور بِالحبِ للنبِيِ والميلِ إِليهِ.

فما لِهؤلاءِ الذين يحارِبون المولِد والمحتفِلين بِهِ ويبدِعونهم ويفسِقونهم بل ويكفِرونهم أحيانًا تركوا إِنكار المنكراتِ التي هِي منكراتٌ حقًا بِحسبِ الشرِيعةِ كالكفرِ اللفظِيِ المنتشِرِ بين كثِيرٍ مِن العوامِ مِن سبِ اللهِ وغيرِهِ وكتكفيرِ المسلِمين بِلا سببٍ شرعِيٍ لِمجردِ أنهم توسلوا بِالنبِيِ أوِ الصالِحِين أو تبركوا بِالنبِيِ أو ءاثارِهِ أو قرءوا الفاتِحة أو غيرها مِن القرءانِ على الميِتِ، لِم لم ينكِروا هذا وأنكروا الاحتِفال بِمولِدِ النبِيِ الذي اتفق المسلِمون مِن حِينِ ظهورِهِ إِلى يومِنا هذا على استِحسانِهِ إِن خلا عنِ المنكراتِ كتحرِيفِ اسمِ اللهِ أوِ الكذِبِ على الرسولِ صلى الله عليهِ وسلم، فهل يكون ذلِك بِسببِ ضغِينةٍ في قلوبِهِم تجاه أفضلِ الخلقِ أو لِمجردِ أنهم حبِب إِليهِم الشذوذ ومخالفة المؤمِنين فِيما اتفقوا عليهِ مِما لا تهواه نفوسهم المِعوجة، أو يكون لِكلا الأمرينِ، والله حسِيبهم وإِليهِ المرجِع والمآل.

MENGUAK KEPALSUAN WAHABI DALAM AQIDAH YANG DINISBATKAN PADA IMAM MALIK RA

Februari 22, 2011 1 komentar

MENGUAK KEPALSUAN WAHABI DALAM AQIDAH YG DINISBATKAN PADA IMAM MALIK RA

Oleh : Qultu Man Ana (Ust. Anwar BZ, Nara Sumber Radio Wadi FM)

Wahabi berhujah utk menegakan aqidahnya dengan perkataan Imam Malik RA Yaitu: bahwa Allah diatas langit dan ilmunya disetiap tempat, barang siapa beri’tiqad bahwa sesungguhnya tidak ada diatas langit tuhan yang disembah, dan tidak diatas arasy Rob yang disolati dan disujudi, dan Muhammad tidak mi’raj kepada Tuhannya, maka dia adalah MUATHIL FIRAUN YANG SESAT DAN BID’AH -Imam Malik-red.
kita katakan bahwa atsar diatas tidak soheh dinisbatkan pada Imam Malik RA,karena Abdullah bin Nafi menyendri dalam meriwayatkan dari imam Malik dan tidak ada yg lainnya, dan Abdullah bin Nafi Diperbincangkan oleh kubar ulama dalam masalah hafalannya, sebelum kita ungkapkan fakta tersebut, kita lihat catatan riwayat yang disandarkan pada imam malik dalam kitab-kitab  khususnya yang dipake pegangan WAHABI, yang semuanya melalui jalan ABDULLAH BIN NAFI:
1. telah mengeluarkan abu dawud dalam kitab masail IMAM AHMAD hal 263 dari Abdullah Bin nafi, beliau berkata: telah berkata IMAM MALIK: ALLAH berada dilangit dan ilmunya distiap tempat.
2. berkata ALHAFID DAHABI dalam kitab Siyar 8/101 (diriwayatkan dari Abdullah bin AHMAD bin HAMBAL dalam kitab; (ARROD ALAL JAHMIYAH) darinya berkata: telah menceritakan padaku bapakku, telah menceritakn suraij bin nu’man dari Abdullah bin Nafi, beliau  berkata: telah berkata Imam Malik: ALLAH berada dilangit, dan ilmunya disetiap tempat tidak kosong sedikitpun)
3. Telah mengeluarkan (IMAM Abdullah bin Hambal dalam kitab ASSUNAH yang dinisbatkan padanya 1/106,cetakan dari ibnu qoyyim damam – 1406 H, dengan pentahqiq doktor muhamad salim alqohthani): telah menceritakan bapakku : teah berkata suraij bin an nu’man : telah mengkabarkan padaku ABDULLAH BIN NAFI, beliau berkata: berkata IMAM MALIK: ALLAH berada dilangit dan ilmunya ada disetiap tempat tidak kosong darinya sesuatu pun, lalu membacakan QS. MUJADALAH 7, dan dengan penjelasan yang panjang lebar dan masih dalam kitab diatas pada 1/174,cetakan yang sama telah mencaritakan kepadaku abulhasan al athor, beliau berkta: aku mendengar suraij bin nu’man berkta: aku bertanya kepada ABDULLAH BIN NAFI….lalu disbutkan(dengan redaksi yang sama)
Lalu sang pentahqiq alqohthoni berkata: (rowinya tsiqot),’ nah begitulah orang yang taqlid pada albani dengan tidak mengecek dahulu kebenarannya, seandainya pentahqiq berhati-hati dalam kebenaran, maka tidak menyepelekan masalah ini, tapi ya begtulah orang yang mengambil ilmu bukan pada ahlinya-(red).
4.Begitu juga riwayat tersebut dikeluarkan oleh al lalaka’i dalam kitab ‘i’tiqad ahli sunah wal jamaah 3/401′ cet: darul thoyibah-riyadl _1402, pentahqiq doktor ahmad sa’d hamdan’ dari jalan IMAM Abdullah bin Ahmad BIN Hambal dalam kitab ASSUNAH, ia berkata: telah mengkabarkan padaku muhamad bin abdullah alhajaj, beliau brkta: telah mengkabarkan PADA KAMI AHMAD BIN ALHUSAIN BERKATA: ABDULAH BIN AHMAD BERKATA:  BAPAKKU TELAH BERKATA : TELAH BERKATA SURAIJ BIN AN NU’MAN, BELIAU BERKATA PADAKU ABDULLAH BIN NAFI,BERKATA IMAM MALIK: ALLAH BERADA DILANGIT DAN ILMUNYA BERADA DISETIAP TEMPAT,TIDAK KOSONG DARINYA SESUATU PUN.
5. TELAH MERIWAYATKAN ABU BAKAR AN NAJAD DALAM KITAB ARROD ALA MAN YAQULU ALQUR’AN MAHLUQ,CET: MAKTABAH AS SOHABAH ISLAMIYAH-KUWAIT (1400) DENGAN PENTAHQIQ: RIDOLLAH MUHAMAD IDRIS) IA BERKATA: TELAH MENYEBUTKAN PADAKU AHMAD,BELIAU MENYEBUTKAN PADAKU ABDULAH BIN AHMAD BIN HAMBAL: TELAH BERKATA ABDULAH BIN NAFI: BERKATA IMAM MALIK BIN ANAS: IMAN ITU UCAPAN DAN AMALAN, LALU BERKATA: ALLAH TELAH BERFIRMAN PADA NABI MUSA AS, DAN BERKATA IMAM MALIK: ALLAH BERADA DILANGIT DAN ILMUNYA ADA DISETIAP TEMPAT, TIDAK KOSONG DARINYA SESUATU PUN.
6. DAN TELAH MENYEBUTKAN ADZ DZAHABI DALAM (TADKIROTUL HUFAD 1/209) DALAM PERKATAAN IMAM MALIK, DARI RIWAYAT ABDULAH BIN HANBAL DALAM KITAB AS-SUNNAH YANG DINISBATKAN PADANYA, JUGA JALAN RIWAYAT INI DISEBUTKAN DALAM -TARIKH ISLAM- MAKA IA BERKATA; (DAN TELAH BERKATA ABDULLAH BIN NAFI, TELAH BERKATA MALIK: ‘ALLAH BERADA DILANGIT DAN ILMUNYA DISETIAP TEMPAT’ MERIWAYATKAN IMAM AHMAD BIN HANBAL DARI SURAIJ BIN AN NU’MAN DARI ABDULLAH BIN NAFI’.
7. MENYEBUKAN IMAM AHMAD DALAM ‘AL ILAL 1/530’ CET: MAKTABAH AL ISLAMI BAERUT) DENGAN TAHQIQ WASYILLAH BIN MUHAMAD ABAS DENGAN SANAD SAMA SEPERTI DALAM KITAB AS-SUNAH YANG DISANDARKAN PADA ABDULLAH BIN AHMAD RA DARI ABDULLAH BIN NAFI.
8. DAN TELAH MENGELUARKAN IBNU QUDAMAH DALAM ISBAT SIFAT AL ULUW HAL 115, CET: DARUSSALAFIYAH-1406 H, DENGAN PENTAHQIQ BADAR ABDULLAH, IA IBNU QUDAMAH BERKATA: TELAH MENGKABARKAN PADA KAMI ABU BAKAR ABDULLAH BIN MUHAMAD, IA BERKATA: TELAH MENGKABARKAN PADA KAMI ABU BAKAR AHMAD BIN ALI, TELAH MENGKABARKAN PADA KAMI HIBATULLAH BIN ALHASAN, TELAH MENGKABARKAN PADA KAMI MUHAMAD BIN UBAEDILLAH BIN ALHAJAJ, TELAH MENGKABARKAN PADA KAMI AHMAD BIN ALHASAN, TELAH MENUTURKAN ABDULLAH BIN AHMAD, TELAH MENUTURKAN BAPAK KU DARI SURAIJ BIN NU-MAN, IA BERKATA: TELAH MENCERITAKN PADA KAMI ABDULLAH BIN NAFI, IA BERKATA: TELAH BERKATA IMAM MALIK: ALLAH BERADA DILANGIT DAN ILMUNYA BERADA DISETIAP TEMPAT TIDAK KOSONG DARINYA SESUATU PUN.
9. DISEBUTKAN OLEH DZAHABI DALAM KITAB AL ULUW HAL 228 CET: MAKTABAH ADWAU SALAF RIYADL,CET PERTAMA 1995 M PENTAHQIQ ABU MUHAMAD ASYROF BIN ABDUL MAQSUD DARI JALUR AJURI: DARI IBNU MIHLAD, DARI ABU DAWUD, DARI AHMAD BIN HAMBAL, DARI SURAIJ BIN AN NU’MAN DARI ABDULLAH BIN NAFI, BELIAU BERKATA: TELAH BERKATA IMAM MALIK: (SPRT REDAKSI SEBELUMNYA)
***********KET: RIWAYAT INI DISOHEHKAN ALBANI DALAM MUKHTASOR AL ULUW HAL 75) CET MAKTAB ISLAMI BAERUT, DENGAN PENTAHQIQ DAN PENTA’LIKNYA ALBANI.
#NAH RIWAYAT DENGAN SANAD TERHADAP PERKATAAN IMAM MALIK YG SUKA DIPAKE PEGANGAN WAHABI TELAH DISEBUTKAN SEMUANYA#
***********KITA LIHAT PENILAIAN ULAMA TENTANG ROWI DALAM RIWAYAT TSBT :
NAH INI KECEROBOHAN ALBANI DENGAN TIDAK MENCERMATI PERKATAAN ULAMA MUHADIS, ATAU KARENA SEBAB MENGIKUTI HAWA NAFSU !
PADAHAL TELAH BERKATA SYAIKH SULAIMAN GOWAJI DALAM SYARAHNYA TERHADAP (KITAB IDOH AD DALIL FIQOT’I HUJAJ AHLI TA’THIL KARYA BADRUDIN BIN JAMAAH) HAL 82, CET DARUS SALAM 1990, DENGAN PENTAHQIQ SYAIKH SULAEMAN GOWAJI DALAM FASAL DIBAWAHNYA TENTANG ‘DAAWI KHOTIROTIN LAESA LAHU DALIL AS SYAR’I’ DENGAN NASHNYA: APA YANG DIRIWAYATKAN OLEH SURAIJ BIN NU’MAN DARI ABDULLAH BIN NAFI DARI IMAM MALIK: ALLAH BERADA DILANGIT DAN ILMUNYA DISETIAP TEMPAT’, ITU TIDAK SABIT !!
**BERKATA IMAM AHMAD: ABDULLAH BIN NAFI AS SO’YIG BUKAN PENGHAFAL HADIS DAN IA DOIF DALAM RIWAYAT.
***BERKATA IBNU ADI: ABDULLAH BIN NAFI MERIWAYATKAN GOROIB: HAL2 YANG ASING DARI IMAM MALIK MAKA TIDAK SAH RIWAYAT TERSENDIRI DARINYA.
****BERKATA IBNU FARHUN: ABDULAH BIN NAFI TIDAK BISA MENULIS.
-MAKA DENGAN SIFAT SANAD SEPERTI INI TIDAK BISA DISANDARKAN PADA IMAM MALIK TOH TELAH MUTAWATIR BAHWA IMAM MALIK TIDAK MEMPERDALAM PEMBAHASAN DALAM SIFAT ALLAH, YANG BUKAN AMALAN AHLU MADINAH SEPERTI DALAM SYARH AS-SUNAH KARYA AL LALAKA’I.
*****BERKATA AHMAD BIN ALHAKIM: ABDULLAH BIN NAFI BUKANLAH PENGHAPAL HADIS MENURUT ULAMA HADIS.
*BERKATA ABU HATIM DIA BUKAN PENGHAPAL, KARENA LEMAH HAPALANNYA,TETAPI TULISANYA YANG DIANGGAP LEBIH SOHEH,
**BERKATA ALBUKHORI: DIKETAHUI HAPALANNYA DAN JUGA DI INKARI(MUNKAR)
**BERKATA IBNU HIBAN DALAM KITAB ASYIQOT: DIA TULISANNYA LEBIH SOHEH DARIPADA HAPALANNYA KARENA TERKADANG IA LUPA.
**BERKATA ALHAFID IBNU HAJAR DALAM KITAB TAHDZIB: ABDULLAH BIN NAFI ASSOYIG SEPERTI YANG DIKATAKAN ALBUKHORI LEMAH HAPALANNYA  TETAPI RIWAYATNYA DARI ALMUWATHO LEBIH DI HARAPKAN.
SEBAB BELIAU MERIWAYATKAN AL MUWATO DENGAN MELIHAT TULISAN KITABNYA BUKAN DENGAN HAFALANNYA.
**DARI AL AJURI DARI ABI DAWUD AKU MENDENGAR IMAM AHMAD BERKATA: ABDULLAH BIN NAFI ORANG YANG PALING TAHU PENDAPAT DAN HADIS IMAM MALIK, KEMUDIAN TERKENA KERAGUAN DALAM HAFALANNYA
OLEH SEBAB ITU IA DIDOIFKAN DARI SEGI HAPALAN RIWAYAT DAN TIDAK SOHEH HADISNYA KETIKA MERIWAYATKAN TANPA TULISAN/KITAB.
#KETERANGAN :

PERKATAAN ULAMA2 MUHADIS DIATAS BISA DI LIHAT DLM: AD DLUAFA KARYA ALBUKHORI, -ASSYIQOT KARYA IBNU HATIM, -AD DUAFA KARYA AD DAHABI, -AD DUAFA WAL MATRUKIN KARYA ANNASA’I JUGA DALAM ALMAJRUHIN KARYA IBNU HIBAN#
KESIMPULAN :
1 BAGAIMANA BISA DIPEGANG RIWAYAT ROWI DOIF YANG MERIWAYATKAN DENGAN SENDRIAN TANPA ADA RIWAYAT DARI YG LAINYA ???
2 ULAMA MENCELA HAFALANNYA,BAGAIMANA BISA DISOHEHKAN DENGAN HANYA 1 JALUR RIWAYAT SAJA ???
3 KENAPA ABDULAH BIN NAFI MENYENDIRI MERIWAYATKAN UCAPAN IMAM MALIK DAN TIDAK ADA DARI SAHABAT IMAM MALIK YG LAINNYA?
-INILAH YG MENAMBAHKAN KERAGUAN BAHWA PERKATAAN INI DISANDARKAN PADA IMAM MALIK RA!
*DAN WAHABI MEMOTONG PERKATAAN IMAM AHMAD YAITU: IA SEORANG YANG LEBIH TAHU TENTANG PENDAPAT IMAM MALIK DAN HADISNYA’, (BERHENTI DISINI) , PADAHAL UNGKAPAN IMAM AHMAD YANG SEMPURNA: ‘IA SEORANG YANG PALING TAHU PENDAPAT IMAM MALIK DAN HADISNYA’ KEMUDIAN TIMBUL KERAGUAN PADANYA, (SUMA DAKHOLAHU BI AKHIRI SYAKKUN), (GITU LENGKAPNYA) ‘JANGAN MAIN POTONG PERKATAAN ULAMA YA  !!! ‘,HE.HE…HE….NAH KALAU PUN CUMA ALASAN INI SAJA, SUDAH CUKUP UNTUK MENGGUGURKAN INFIROD DALAM RIWAYATNYA, APALAGI TELAH DI DOIFKAN ULAMA LAINNYA.
## TELAH MUTAWATIR DARI IMAM MALIK BAHWA IA TIDAK MEMPERDALAM TENTANG SIFAT AYAT MUTASABIH SEPERTI DALAM KITAB AL ASMA WA SIFAT KARYA ALBAIHAQI HAL 408) JUGA DALAM FATHUL BARI 13/4O6)
#*#TELAH MERIWAYATKAN AL ALAMAH QODI QUDOT AL ISKANDARIYAH NASIRUDIN BIN ALMUNIR ALMALIKI (ULAMA QURUN KE 7 H) DALAM KITABNYA (AL MUQTAFA FI SYAROFILMUSTOFA) KETIKA MEMBAHAS TENTANG JIHAT DAN PENAFIANNYA, BELIAU BERKATA: DENGAN MAKNA INI TELAH ISYARAH IMAM MALIK RA DENGAN SABDA RASUL SAW: JANGANLAH KALIAN MENGUTAMAKAN AKU LEBIH DARIPADA NABI YUNUS BIN MATA (HR BUKHORI), MAKA BERKATA IMAM MALIK, BAHWA DI HUSUSKANNYA MENYEBUT NABI YUNUS DALAM HADIS ADALAH MENGINGATKAN AKAN SUCINYA ALLAH DARI ARAH, SEBAB RASUL SAW DIANGKAT KEATAS LANGIT,SEMENTARA NABI YUNUS AS DI TURUNKAN KE DASAR LAUTAN. KALAU KEUTAMAAN DI UKUR DENGAN KEDEKATAN TEMPAT, MAKA RASUL YANG LEBIH DEKAT DENGAN NAIK KEATAS, DARIPADA YUNUS AS,TETAPI JUSTRU RASUL MELARANG I-TIQAD TERSEBUT DENGAN SABDANYA. KEMUDIAN IMAM NASIRUDIN BIN ALMUNIR BERKATA: KEDEKATAN BUKAN DENGAN TEMPAT (MAKAN) TAPI DENGAN KEDUDUKAN (MAKANAH).
NAH PERKATAAN INI JUGA TERDAPAT DALAM KITAB SAEFU AS SOQIL HAL 137. JUGA DALAM KITAB ITHAF SADAT MUTAQIN KARYA ALHAFID AZ ZABIDI 2/105) WALLOHU A’LAM BI HAQIQOTIL UMUUR.

Kategori:Arsip Terkini, Wahabi Tag:

MEMBONGKAR DUSTA WAHABI TERHADAP PERKATAAN YANG DISANDARKAN PADA ABU HANIFAH RA. TENTANG ALLAH DI ARASY..

Februari 22, 2011 Tinggalkan komentar

MEMBONGKAR DUSTA WAHABI TERHADAP PERKATAAN  YANG DISANDARKAN PADA ABU HANIFAH RA. TENTANG ALLAH DI ARASY..

Oleh : Qultu Man Ana (Ust. Anwar BZ – Nara Sumber Radio Wadi FM)

 

Wahabi menyandarkan aqidahnya pada perkataan imam Abu hanifah yg terdapat dalam syarah Fiqh al akbar hal 197-198 pensyarahnya adalah mula ali alqori, perkataan tersebut : Diriwayatkan dari Abi Muthi’ al balkhi, sesungguhnya ia bertanya pada imam Abu hanifah RA tentang orang yang berkata : ‘Aku tidak tau apakah tuhanku dilangit atau dibumi ? , maka Beliau menjawab : Org tersebut telah KAFIR ! Karena Allah Taala berfirman : ” Allah yang maha Rohman istawa diatas arasy (QS. THOHA) Dan arasnya diatas 7 langitnya’, bagaimana kalau ia bertanya: ‘Allah diatas arasnya tapi aku tidak tahu apakah arasnya di langit atau di bumi, maka Beliau menjawab lagi ‘Orang itu telah kafir karena ia inkar akan adanya Allah dilangit, sebab Allah diatas iliyiin (Abu Hanifah).

KITA JAWAB :

Riwayat ini dusta dan batil,dan seolah menyatakan haqiqat dzat Allah diatas langit,dan ini dibuat-buat atas imam abu hanifah Sebab:

  1. riwayat tersabut tidak ada dalam matan fiqhul akbar(karya abu hanifah), tetapi termasuk dalam masalah yang dicantumkan oleh pensyarah kitab tersabut yaitu Mula ali alqori.
  2. perowinya yaitu Abu muthi’ albalkhi sebagaimana dikatakan oleh ibnu abi al izzi bin abdissalam di dlm syarah at thohawi juz 2/480 menukil perkataan dari ibnu katsir ‘adapun abu muthi yaitu alhakam bin abdillah bin maslamah albalkhi tlah di doifkan oleh imam ahmad bin hambal juga yahya bin ma’in berkata : tdk ada apa-apanya, juga al bukhori berkata dia dhoif dengan pemikirannya, juga didoifkan oleh hatim ar razin,muhamad bin hiban,ibnu adi dan darqutni juga oleh yg lainnya.

berkata syekh musthofa abu saif alhamami dalam kitabnya (gaus al ibad bibayani arrosyad hal 341-342) ‘ dari penjelasn ini kita simpulkan 3 hal:
1-riwayat ini tidak ada dalam fiqh al akbar imam abu hanifah,tetapi hanya dinukil oleh penukilnya atas nama abu hanifah dengan menyandarkan pada kitab beliau FIQH AL  AKBAR, dan itu kebohongan dan bid’ah aqidah.
2-perowinya dicela karena pemalsu maka tidak halal bersandar dengan riwayatnya dalam hukum furu, apalagi hukum usul, maka mengambil riwayatnya adalah khiyanat.
3-perowi ini telah divonis berdusta atas nama abu hanifah RA oleh imam izudin abdussalam seorang ulama yang tsiqoh.

nah jika diperkirakan riwayat itu benar ???
maka telah menjawab syaikh imam izudin bin abdsalam dalam kitab hillur rumuz seperti di nuqilkan oleh imam ali qori dalam syarahnya fiqh akbar hal 271, berkata imam izzu : bahwa orang yang berkata ‘saya tidak tahu apakah Tuhan dilangit atau dibumi dihukumi kafir’, karen ucapan tersebut memberi prasangka bahwa Allah bertempat dan berarah, barang siapa berfikiran seperti itu, maka ia adalah musyabih.
BERKATA MULA ALI ALQORI BAHWA IMAM IZUDIN BIN ABDISALAM ADALAH SEORANG ULAMA YANG UTAMA DAN TERPERCAYA.
MAKA PELAJARAN DARI UCAPAN DIATAS BAHWA IMAM IZUDIN BIN ABDISALAM BERKATA, KUFURNYA ORANG YANG BERKATA DENGAN UCAPAN DIATAS KARENA MENJADIKAN ALLAH DIBATASI ARAH DAN TEMPAT, KETIKA ADA PADA ARAH DAN TEMPAT MAKA ALLAH BUTUH PADA YANG MENCIPTANYA DENGAN TIDAK RAGU LAGI, JADI MAKSUDNYA TIDAK SEPERTI YANG DISANGKA OLEH KAUM MUSYABIH YANG MENYATAKAN ALLAH BERTEMPAT DIARASY DI ATAS LANGIT DENGAN HUJAH PERKATAAN IMAM ABU HANIFAH, PADAHAL SEBAGAIMANA TADI DIJELASKAN BAHWA PEROWINYA PENDUSTA MENURUT AHLI HADIS, DAN IMAM ABU HANIFAH TELAH MENJELASKAN DI BANYAK HALAMAN DALAM KITABNYA BAHWA ALLAH TIDAK BERTEMPAT DAN BERARAH, CONTOH :

IMAM ABU HANIFAH BERKATA DALAM KITABNYA ALWASIYAT HAL 61 SEPERTI JUGA DINUQIL DALAM SYARAH FIQH AL AKBAR : KAMI MENETAPKAN AYAT TENTANG ALLAH ALA AL-ARSY ISTAWA’ DENGAN TIDAK MEMBUTUHKAN ARASY DAN TIDAK MENETAP, JUSTRU ALLAH YANG MENJAGA ARASY DAN YANG LAINYA, SEANDAINYA ALLAH MEMBUTUHKANNYA, TIDAK LAH ALLAH KAN KUASA MENCIPTA ALAM DAN MENGATURNYA, SAMA SEPERTI MAHLUKNYA, MAKA ALLAH MAHA SUCI DARI HAL TERSEBUT.

ADAPUN PERKATAAN IBNU  QOYYIM DALAM KITAB NUNIYAH-NYA BAHWA BERKATA NU’MAN (ABU HANIFAH) DAN JUGA ABU YUSUF, ADAPUN UCAPAN NU’MAN YAITU BARANG SIAPA TIDAK MENETAPKAN ALLAH BERADA DI ARASYNYA DIATAS LANGITNYA, DIATAS SEGALA SESUATU, MAKA TIDAK RAGU LAGI TELAH KAFIR TRHADAP ALLAH’ INILAH PERKATAAN DALAM FIQH AL AKBAR JUGA DLM BEBERAPA SYARAHNYA (IBNU QOYYIM).
NAH ITU KEBOHONGAN TERHADAP IMAM ABU HANIFAH RA, SEBAGAIMANA TADI DIJELASKAN, DAN KITAB FIQH AL  AKBAR ADA DI DEPAN KAMI DAN BISA DICARI, TOH GAK ADA UCAPAN TERSABUT, JUGA TIDAK TERDAPAT JUGA PERKATAAN IMAM ABU YUSUF (TEMAN IMAM ABU HANIFAH RA)
BERKATA SYEIKH MUSTOFA  AL HAMAMI DARI ULAMA AZHAR ‘TIDAK RAGU LAGI INI ADALAH KEDUSTAAN, JUGA BERKATA AL KAUTSARI DALAM KITAB TAKMILAH-NYA HAL 108.

MUNGKIN WAHABI MASIH BANTAH DENGAN APA YG DI SEBUTKAN OLEH AD DZAHABI KETIKA MENUKIL DARI IMAM BAEHAQI DALAM KITABNYA AL ASMA WA SIFAT, YAITU ‘MERIWAYATKAN ALBAIHAQI BAHWA ALLAH DIATAS LANGIT DENGAN RIWAYAT YANG DISANDARKAN KEPADA ABU HANIFAH DALAM ASMA WA SIFAT HAL 429, DAN SETELAH UNGKAPAN TERSEBUT, BELIAU (ALBAI HAQI) BERKATA ‘IN SOHAT ALHIKAYAT: KALO HIKAYAT INI SOHEH’ , NAH UCAPANNYA INI MENUNJUKAN BAHWA IMAM DZAHABI LUPA ATAS QAYID YANG PENTING YANG DI ISYARAHKAN ALBAIHAQI YAITU UCAPAN ‘IN SOHAT ALHIKAYAT’, PADAHAL INI ISYARAH YANG KUAT BAHWA DALAM RIWAYAT TERSABUT BANYAK CACAT SEPERTI DIKATAKAN OLEH SYAIKH AL KAUSARI DALAM KITAB TAKMILAHNYA HAL 180.

DAN IMAM ALBAIHAQI MENYEBUTKAN DALAM BANYAK TEMPAT DI DALAM KITAB ASMA WA SIFAT NYA BAHWA ALLAH DISUCIKAN DARI TEMPAT DAN BATASAN, CONTOH:

1 BERKATA ALBAIHAQI: TELAH BERDALIL SAHABAT-SAHABAT KU UNTUK MENAFIKAN TEMPAT BAGI ALLAH DENGAN HADIST: ” ENGKAU YANG DOHIR MAKA TIDAK ADA SESUATU DIATASMU, DAN ENGKAU YG BATIN MAKA TIDAK ADA SESUATU DIBAWAHMU (HR. MUSLIM) (KITSB AL ASMA WA AS SIFAT HAL 400)
2 BERKATA ALBAIHAQI: SESUNGGUHNYA ALLAH TA’ALA TIDAK BERTEMPAT, KARENA BERGERAK, DIAM DAN BERTEMPAT ADALAH SIFAT JISIM/BENDA DAN ALLAH MAHA ESA ADALAH TEMPAT BERSANDAR DAN TIDAK ADA YANG SEMISAL DENGANNYA. (KTB AL ASMA WA AS SIFAT HAL 448-449)

MAKA JELAS KLAIM MEREKA BAHWA ALLAH BERTEMPAT DIATAS ARAS DENGAN BERSANDARKAN KALAM ABU HANIFAH ADALAH BATHILL…….! ! !

PERBEDAAN, APAKAH RAHMAT ATAU LAKNAT ???????

Februari 22, 2011 2 komentar

oleh : Qultu Man Ana
Selama ini kita sering mendengar bahwa hadist ” Perbedaan umatku adalah rahmat “ dinyatakan dhoif oleh syekh al bani dalam ad dhoifah 76-85. Dan Imam Subki AR berkata : hadist ini tidak dikenal oleh ahli hadist dan aku belum mendapatkanya baik degan sanad soheh,hasan, maudu atau pun dhoif.

BARANGKALI kita sering mendengar obrolan ‘mana mungkin perbedaan itu rahmat, perbedaan itu laknat’ wong hadisnya juga dhoif …choy!

* Yah, sering hadis ini dijadikn hujah utk mengkritik dan menyerang pendapat lain yg bersebrangan, seolah tidak b0leh ada perbedaan pendapat ! betul bahwa dlm masalah usul, jelas umat harus dalam satu pendapat, namun bagaimanakah pendapat salaf tentang masalah furu/fiqih ??

** MARI KITA LIHAT PEMAPARAN BERIKUT INI **

  1. Alhafid alBaehaqi dalam kitabnya Almadkhol dan Azzarkasi dalam tadzkirah ahadist musytaharah menyatakan bahwa imam alqosim bin muhamad bin abi bakar Asshidiq ra berkata : perbedaan diantara sahabat muhamad adalah rahmat bagi hamba-hamba Allah. – alhafid al iraqi guru ibnu hajar berkata : ini adalah perkataan alqosim  bin muhamad, BUKAN HADITS,.
  2. alhafid ibnu al atsir dlm pembukaan kitabnya jami al ushul fil ahadisirasul menyebutkn bhw perkataan diatas dari imam malik sprt dikatakn ibnu almulaqin dlm tuhfat almuhtaz,dan assubki dlm ktbnya tobaqot asyafi iyah.
  3. -baihaqi dan zarkasi jg menyebutkAn bhw IMAM qutadah bErkAta:bErkAta umar bin abd aziz RA’:aku tdk menyukai jika sahabat muhamad saw tdk brbeda pndpt diantara mrka,krn jika mrka tdk brbda pndpt,mk tdk akn ada toleransi bAgI kita.
  4. -AL baihaqi menybutkn dlm almadkhol dan zarkasi dlm tadzkirah bhw al laits ibn saad dari yahya ibnu said ‘para ulama adlh org2 yg diberi keluasan/taosi’ah,mrka yg brfatwa tdk hnti2 utk berbeda,shgg seorANg memblehkn sesuatu,sdgkan yg lain mlarangnya tAnpa menyalahkn yg lainya ktka ia tau pndpt lainnya,
  5. -alhafid as sakhowi brkata dlm maqosid alhasna 39 stlh mengutip pernytaan di atas: sy tlh membc tulisan tngn syaikh kami/ibnu hajar tntg riwayat al laits adlh rfrnsi yg paling trknal bAgI hadis rasul ‘dikutif oleh ibnu hazib dlm bab qiyas yg brbunyi ikhtilafu umati rahmatun lin nas’:bhw emg hal itu tdk ada ASALNYA (la asla laha) namun wlo bgtu al khotobi brkta:memANg dlm hadis ini tdk trlepas dari ksalahan tp memiliki dasar dlm pEnetapAn krn adanyA perbedaan diantara PARA sahabat
  6. al iraqi stlh brkta poin 1 smpe 5 diatas DI dlm KITAB mugni alhaml al asfar SERAYA menambahkan:apa yg dimaksud PERBEDAAN DALAM k0munitas disini adlh mrka yg bErkOmpEten dlm melakukan ijtihad dlm cAbAng hukum furu,artinya bukAn dlm aqidah,krna AQIDAH dikEtahui HANYA ada 1 kbenaran,apAbILA mujtahid atau yg lainnya bErbEda dlm asAL aqidah otomatis terlEpas dari islam
  7. IBNU HAZM DLM ALHIKAM FI USHULI AHKAM 5/64 BERKATA-PERKATAAN ”PERBEDAAN PENDAPAT DARI UMATKU ADLH RAHMAT” ITU PERKATAAN YG PALING KELIRU KARENA JIKA PERBEDAAN ADLH RAHMAT,MAKA PERSAMAAN ADALAH LAKNAT,DAN TDK MUNGKN MUSLIM MENYATAKAN INI,KARENA YG ADA HANYA PERSAMAAN ATAU KALAU TDK,BERARTI PERBEDAAN,INTINYA YG ADA HANYA RAHMAT ATAU SEBALIKNYA YAITU LAKNAT.**IMAM NAWAWI MEMBANTAH PANDANGAN IMAM IBNU HAZM INI DLM SYARH SOHEH MUSLIM JIKA SESUATU DIKATAKAN RAHMAT BELUM TENTU KEBALIKANNYA ADALAH LAKNAT,TIDAK ADA SEORANG PUN MEMBUAT KESIMPULAN SEPERTI ITU KECUALI ORANG YG ACUH DAN TAASUB,
    ALLAH BERFIRMAN-DAN DIANTARA RAHMAT ALLAH,DIA MENJADIKAN MALAM UTKMU SEHINGGA KAMU BERISTIRAHAT DI DLMNYA'(FURQON 47)
    ALLAH MENYEBUT MALAM SEBAGAI RAHMATNYA,DAN TDK MENGATAKAN LAWANNYA YAITU SIANG SEBAGAI LAKNAT.
  8. -IBNU QUDAMAH HAMBALI MENYATAKAN DLM AL AQOID ‘PERBEDAAN PENDPT DLM UMATKU ADLH RAHMAT,KESEPAKATAN PADA MEREKA ADALAH BUKTI
  9. -AS SATIBI DLM AL I-TISOM BERKATA-SEJUMLAH BESAR SALAF PERCAYA BAHWA PERBEDAAN PENDAPAT UMAT DLM FURU SEBAGAI JALAN ROHMAT-DUMRA IBNU RAJA MERIWAYATKAN:UMAR BIN ABD AZIZ DAN ALQASIM BIN MUHAMAD BERTEMU DAN MULAI MENGKAJI HADIS,UMAR BIN ABD AZIZ RA KEMUDIAN MULAI MENYEBUTKAN SOAL YG BERBEDA DGN APA YG DISEBUTKAN ALQOSIM,MK AL QASIM BIN MUHAMAD TERUS MENGAJAK BERDISKUSI SAMPAI PERMASALAHAN SAMPAI PADA TITIK,MK UMAR BIN ABD AZIZ RA BERKATA PADANYA:JGN LAKUKAN!! JGN TANYAKAN KENAPA BERBEDA?! AKU TDK MENYUKAI PENGHAPUSAN RAHMAT ALLAH DARI PERBEDAAN2 MEREKA.WALHAMDULILLAH

**JADI KALAU MAU MEMAKSAKN PENDAPAT,APALAGI VONIS SESAT PADA YG BERBEDA DALAM FURUIYAH,BERARTI MAU MENGHAPUS RAHMAT ALLAH.
*# NAUDZU BILLAH MIN SYURURI ANFUSINA..#*

Kategori:Arsip Terkini Tag:,

HUKUM Asal Ibadah Haram,HUKUM asal Muamalat Halal

Februari 22, 2011 Tinggalkan komentar

oleh : Qultu Man Ana

any way .. Semoga ini menambah ilmu bagi kita. Amien.

الأصل في العبادات التوقيف

وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في العبادات جميعا وهي قاعدة معروفة عند أهل العلم، أن الأصل في العبادات التوقيف كما أن الأصل في المعاملات والعقود الإباحة، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جدا ونافعة للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادة لم يأذن بها الله عز وجل، بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم يكن لأحد أن يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصا أو تقديما أو تأخيرا أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن الشارع، ولا يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعا، والعصر أربعا، والمغرب ثلاثا، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا بالله جل وعلا، وصدقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد دليل على المنع منها، فلو فرض مثلا أن الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في البيع والشراء عقدا جديدا لم يكن موجودا في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع، ليس فيه ربا ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذ نقول: هذا العقد مباح؛

terjemahan,
asal dalam ibadah adalah tauqifi

Saya ingin menerangkan permasalahan penting tentang ibadah, yaitu tentang kaidah yang sudah amat terkenal, yaitu : segala sesuatu dalam ibadah itu tauqufi sifatnya. kaidah ini amat sangat penting dan sangat bermanfaat bagi manusia.nisbahnya pada adat, manusia tidak boleh membuat – buat sesuatu sebagai ibadah yang tidak diizinkan Allah dalam agama. Seseorang tidak boleh mengerjakan sholat, zakat, puasa haji,,,dengan menambahi atau mengurangi, atau mendahulukan dan mengakhirkan atau selainnya. bahkan dia, seperti dikatakan ushuliyyun : tidak bisa di aqal maknanya artinya : kita tidak bisa tahu kenapa shalat dzuhur 4, shalat ashar 4 rakaat, maghrib 3, fajar 2, tidaklah kita tahu akan hikmatnya. Tapi yang  jadi kewajiban kita adalah beriman pada Allah, dan membenarkan Rasul serta apa yang dibawanya dan wajib kita terima. ini adalah tata cara beraqidah dan melaksanakan ibadah. Dasarnya adalah tauqif, naql dan dalil sama’i. tidak yang lain.

Ini berbeda dari mu’amalat…asalnya adalah boleh sampai ada dalil larangan terhadapnya ( artinya akan terus boleh sampai ada dalil yang melarang ). seperti seseorang yang membuat sesuatu yang baru dengan membuat cara – cara baru tentang  jual beli yang tidak ada di zaman nabi, maka tidak ada alasan melarangnya, juga jika tidak ada faktor yang membuat dia haram, seperti riba, jahalah, penipuan, dzalim dan tidak bertentangan dengan ushul syariah, maka kita mengatakan : ini semua mubah (boleh ).selesai.

**********

التوقيف في صفة العبادة

العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلا أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع

terjemahannya :

tauqifi dalam sifat ibadah

ibadah itu tauqifi dalam semua hal. dalam sifatnya,,,maka tidak boleh untuk menambah dan megurangi. seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya…oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari’ ( Allah )

التوقيف في زمن العبادة

زمان العبادة توقيفي -أيضا- فلا يجوز لأحد أن يخترع زمانا للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلا

tauqifi dalam waktu pelaksanaan ibadah

waktu pelaksanaan ibadah juga tauqifi. maka tidak boleh seseorang itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya.

التوقيف في نوع العبادة

كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعا، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلا، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلا، فهذه بدعة!

tauqifi dalam macamnya ibadah

begitu juga ibadah juga harus disyaratkan sesuai dengan syari’at..artinya termasuk dari jenis ibadah yang di syariatkan, maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak di syariatkan, seperti menyembah matahari atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata ” saya ingin melatih badanku “ misalkan ini semua bid’ah.

التوقيف في مكان العبادة

كذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعا، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلا- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجا أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك.

begitu juga tauqifi dalam tempat ibadah.

maka ini juga harus masyru’. maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari’atkan. seperti jika seseorang wukuf di muzdalifah, maka ini bukan haji, atau wuquf dimina, atau bermalam ( muzdalifah ) di arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’.selesai.

maka kalau anda baca semua,,akan ada point-point yang bisa kita tangkap…yaitu:
IBADAH YANG DIMAKSUD DALAM KAIDAH DIATAS adalah IBADAH MAHDLOH, yaitu ibadah yang hanya mengatur hubungan kita dengan Tuhan saja. karena yang namanya ibadah mahdlah itu harus ada unsur-unsur berikut ini :

1. Sifat
2. Zaman
3. Macam
4. Tempat

Anda sholat dzuhur di waktu duha, inilah yang bid’ah anda mau haji tapi ke Amerika, inilah bid’ah anda mau ruku’  tapi dilaksanakan di sesudah sujud, inilah bid’ah karena tidak disyari’atkan.

********

Dalam ibadah mahdlah,,,yang ada adalah maqashid (tujuan). Dalam ibadah ghairu mahdlah, ada wasail (wasilah) dan maqashid (tujuan).

Saya menulis disini, tujuannya adalah mencari ridha Allah, biar saya dapat pahala. Maka tidak ada keraguan didalamnya bahwa ini namanya Ibadah. Wasailnya adalah menulis disini , dan maqashidnya adalah mengharap ridha Allah.  Artinya, wasailnya bukan dzat nya ibadah. Menulis apakah ibadah? …. …bukan !
.
BEGITU JUGA KEGIATAN BERKUMPUL DIMAJLIS DGN MEMBACA MAULID TUJUANNYA MENCARI RIDHO ALLAH,MENANAMKAN KECINTAAN PADA NABI, JUGA SUPAYA DAPAT PAHALA, MAKA TIDAK ADA KERAGUAN DIDALAMNYA BAHWA INI IBADAH..WASAILNYA BERKUMPUL, MENDENGAR SEJARAH NABI, MAQOSIDNYA MENCARI RIDHO ALLAH……DLL, MAKA TIDAK LAYAK DITANYA  ‘APA DALILNYA’  TOH ITU MUAMALAH YANG ADA WASAIL DAN MAQOSID..! NAH WASAIL BUKAN DZATNYA IBADAH, BERKUMPUL  APAKAH IBADAH ??       BUKAN ! KAYA KITA BERKUMPUL REUNIAN, APAKAH ITU DZATIYAH IBADAH ? BUKAN ! TP KALAU MAQOSIDNYA BAIK, SEPERTI MEMPERERAT SILATURAHIM, MAKA BERNILAI IBADAH , KARENA PERTANYAAN TIDAK TEPAT, MAKA GAK  ADA JAWABAN, YANG MESTI DITANYA ADALAH  ‘APA MAQOSIDNYA !?’
-LILWASAIL HUKMUL MAQOSID-

Berbeda kalau saya sholat. Sholat itu adalah dzat ibadah. Maka tidak ada lagi wasail.

-MAKA FAHAMILAH KAIDAH DIATAS JUGA APA MAKSUD DARIPADA ‘IBADAH’ TERSEBUT-

-JADI HAL IBADAH BARU YANG TIDAK ADA DALIL-NYA DAN HUKUMNYA BID’AH SESAT, ADALAH MENGADA-NGADA IBADAH MAHDLOH ATAU MENAMBAHI, MENGURANGI ATAU TIDAK PADA TEMPAT DAN WAKTUNYA,
BUKAN DLM HAL IBADAH GHOER MAHDOH/MUAMALAT.!

FAHAMILAH..Wallahu a’lam.

Menyatukan Konsep Bid’ah antara Wahaby dan Aswaja

Februari 22, 2011 4 komentar

Bid’ah Terpuji/Tercela; Konsep, Realitas & Ikhtilaf

Perdebatan tentang tema bid’ah apakah ada yang terpuji atau semua tercela, kemudian apa saja yg termasuk bid’ah yang tercela adalah tema pembahasan dan perdebatan lama yang kalau kita kaji dengan teliti, maka akan kita temukan berbagai pendapat yang tidak harus kita pertentangkan, apalagi dijadikan alat untuk memutus tali ukhuwwah sesama muslim.

Tulisan ini saya buat dengan harapan bisa mempererat tali ukhuwwah sesama muslim – apapun organisasinya — dan agar kita bisa menyikapi perbedaan ini sehingga kalaupun berbeda pendapat, maka masih dalam lingkup perbedaan yang syar’iy, bukan perbedaan yg merupakan penyimpangan dari syari’ah. Dan kalaupun masih ada perbedaan pandangan maka kita bisa bersikap sebagimana para ‘ulama dulu ketika mereka berbeda pandangan, yakni: “pendapat yang kami ambil adalah pendapat yang benar, walaupun ada juga kemungkinan keliru, sedangkan pendapat selain pendapat kami adalah keliru walaupun ada kemungkinan benar”, bukan menyatakan pendapat selain pendapatnya adalah sesat, tentunya kalau pendapat lain tersebut ada dalil ataupun syubhat dalilnya juga.

1. Hadits – Hadits Tentang Bid’ah

Sebelum membahas lebih lanjut, berikut beberapa hadits tentang bid’ah, adapun penomoran hadits disini sesuai dengan software Kutubut Tis’ah (kalau redaksi hadits cukup panjang, saya kutip sebagian saja yang khusus berkaitan dengan tema ini):

1. Riwayat Muslim no 1435 dari Jabir bin ‘Abdullah:

… فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ…

… Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat…

2. Riwayat Abu Dawud no 3991 dari ‘Irbadh bin Sâriyah:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

… Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru, sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setaip bid’ah adalah sesat…

3. Riwayat An Nasâ’i no 1560 dari Jabir bin ‘Abdullah:

إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

Sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru, setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka’…

4. Riwayat Ibnu Majah no 42 dari ‘Irbadh bin Sâriyah:

وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

…dan jangan sampai kalian mengikuti perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat…

Ibnu Majah juga meriwayatkan dengan redaksi berbeda dari Jabir bin Abdullah (no 44), dan juga dari Abdullah bin Mas’ud (no 45)  dengan redaksi:

أَلَا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدِثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

…Ingatlah, janganlah kalian membuat perkara-perkara baru. Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (diada-adakan), dan setiap hal baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat…

5. Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah (no 13815), dan dari ‘Irbadh bin Sâriyah (no 16521 dan 16522), dengan redaksi yang kurang lebih sama diatas.

Adapun hadits dari ‘Irbadh bin Sâriyah [point 2 (dan 5)], Al Hafidz al Bazzar menyatakan: hadîts tsâbit shahÎh”, Al Hafidz Ibnu Abdil Barr menyatakan: hadîts tsâbit, Al Hâkim menyatakan : صحيح ليس له علة (Shahih tidak ada cacatnya)[1].

2. Pendapat Para Ulama berkaitan dengan Bid’ah

Dari kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, secara umum ada dua pendapat berkaitan dengan bid’ah, yakni:

1. Ada Bid’ah Baik (Hasanah) Dan Buruk (Dlolalah)

Ini merupakan pendapat[2] Al-Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H), Shulthonul ‘Ulama Al-’Izz ibn Abdis Salam (wafat 660 H), Imam An-Nawawi (676 H), Al Hafidz As Suyuthi ( w. 1505 M), Abu Syaamah (wafat 665 H). Dari kalangan Malikiyah: Al-Qarafi (wafat 684 H) dan Az-Zarqani (wafat 1122 H). Dari kalangan Al-Hanabilah : Al Hafidz Ibnu Al-Jauzi (wafat 597 H) serta dari kalangan Dzahiri : Ibnu Hazm (wafat 456 H).

2. Bid’ah Semuanya Sesaat, baik dalam adat maupun ibadah.

Ini merupakan pendapat [3]At-Thurthusy, Asy-Syathibi (wafat 790 H), Imam Asy-Syumunni (wafat 821 H) dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga Al Hafidz Al-Baihaqi (wafat 458 H), Al Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqallany (wafat 852 H), serta Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 974) dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab (wafat 795 H) dan Ibnu Taymiyyah (w. 1328 M). Termasuk pendapat Imam Malik, beliau berkata:

من ابتدع في الاسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم ان محمدا خان الرسالة، لان الله تعالي يقول: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكن اليوم دينا

Barang siapa mengada-adakan didalam Islam suatu bid’ah yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, maka ia telah menuduh Muhamad SAW menghianati risalah, karena Allah telah berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucukupkan nikmatKu kepadamu, dan telah Kuridhoi Islam menjadi agamamu”. Maka sesuatu yang bukan termasuk ajaran agama pada hari itu (saat hidup Rasul) bukan pula termasuk ajaran agama pada hari ini. (lihat Abdul Muhsin bin Hammad dalam فتح القوي المتين في شرح الأربعين وتتمة الخمسين , hal 86, Maktabah Syâmilah)

3. Kenapa Terjadi Perbedaan Pendapat?

Dari apa yang saya kaji, sebenarnya perbedaan pandangan apakah ada bid’ah hasanah atau tidak ada hanyalah perbedaan semu, dimana dua kelompok ulama tersebut sebenarnya bermaksud sama dalam hal makna, hanya berbeda dalam pengungkapan dan pendefinisian.

Kalangan pertama memaknai bid’ah hanya sebatas makna bahasa saja, yakni:

الْبِدْعَةُ لُغَةً : مِنْ بَدَعَ الشَّيْءَ يَبْدَعُهُ بَدْعًا ، وَابْتَدَعَهُ : إِذَا أَنْشَأَهُ وَبَدَأَهُ .وَالْبِدْعُ : الشَّيْءُ الَّذِي يَكُونُ أَوَّلاً ، وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى : قُل مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل

Bid’ah secara bahasa: berasal dari ba-da-’a asy-syai’ yabda’uhu bad’an wa abtada’ahu: (yang artinya adalah) mengadakan dan memulai. Dan Al Bid’u : (adalah) sesuatu yang ada pertama kali, dengan makna ini allah berkata: Katakanlah (wahai Muhammad)aku bukanlah utusan yang pertama kali (al Ahqaf : 9)[4]

Sedangkan makna hadits (yang baru):

الْحَدِيثُ نَقِيضُ الْقَدِيمِ ، وَالْحُدُوثُ : كَوْنُ شَيْءٍ بَعْدَ أَنْ لَمْ يَكُنْ

Al hadits (yang baru) itu adalah lawan dari qadiim (yang dahulu), dan huduts: keberadaan sesuatu setelah sebelumnya tidak ada.[5]

Ini juga diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW (no 2):

… فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ…

… sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah…

Kemudian mereka memahami sambungan hadits tsb:

… وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ…

…dan setiap bid’ah adalah sesat…

Kata Kullu (setiap) dalam kullu bid’ah (setiap bid’ah) adalah dimaksudkan untuk sebagian, yakni bid’ah yang buruk saja (dalam bahasa Arab ada kaidah ithlaaqul kulli wa iraadatul juz’i (yang disebut semua namun yang dimaksud adalah sebagian), kalau dalam bahasa Indonesia kurang lebih sama dengan majaz totem pro parte (pelajaran SMP dulu). Misalnya dalam Al Qur’an Allah menyatakan dalam Surah Al Kahfi 79:

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.

Kalimat “merampas tiap-tiap bahtera” (يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا) maksudnya bukan semua kapal, namun kapal yang baik-baik saja, oleh karena itu dikatakan “aku bertujuan merusakkan bahtera itu” yakni agar tidak dirampas raja. Jadi kata kullu (setiap) bisa digunakan untuk menyatakan sebagian saja.

Adapun kelompok kedua, yang menyatakan bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat. Mereka memahami sabda Rasulullah SAW (no 2):

… فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ…

… sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah…

Kata kullu disini maksudnya khusus, bukan semuanya, sehingga mereka menggolongkan pesawat (walaupun di zaman Rasul tidak ada), bangunan sekolah, komputer, adanya jam belajar tertentu di sekolah dll, yang merupakan perkara baru namun tidak digolongkan bid’ah.

Kemudian mereka memahami sambungan hadits tsb:

… وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ…

…dan setiap bid’ah adalah sesat…

Kata kullu disini mereka maksudkan untuk menyatakan semua, tanpa pengecualian, adapun pengecualiannya di masukkan dalam pengkategorian apakah sesuatu itu bid’ah atau bukan, yakni mereka menggunakan kata bid’ah dengan pendefinisian baru, antara lain:

Definisi Imam Asy Syatibi[6] , ada dua definisi bid’ah, yakni:

طَرِيقَةٌ فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٌ ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ ، يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ

Sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat (disamakan) dengan syari’ah, dan ketika melakukannya diniatkan untuk berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.

Definisi ini mengkhususkan bahwa bid’ah adalah khusus dalam ‘ibadah, bukan ‘adat.

Definisi kedua dari Asy Syatibi:

طَرِيقَةٌ فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِي الشَّرِيعَةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيقَةِ الشَّرْعِيَّةِ

Sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat (disamakan) dengan syari’ah, dan ketika melakukannya diniatkan sebagaimana apa yang dimaksud oleh jalan (thoriqah) syar’iyyah.

Definisi yang kedua ini memasukkan ‘adat kedalam bid’ah jika diserupakan dengan thariqah (jalan) syari’at.

Ibnu Rajab dalam kitab Jâmi’ul Ulum Wal Hikam menyatakan:

وَالْمُرَاد بِالْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ مِمَّا لاَ أَصْل لَهُ فِي الشَّرِيعَة يَدُلّ عَلَيْهِ ، وَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْل مِنْ الشَّرْع يَدُلّ عَلَيْهِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ بِدْعَة لُغَة

Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa apa yang diadakan yang tidak ada pokok (asal/dasar) nya dalam syari’ah yang menunjukkan atasnya, adapun jika ada asal/pokok/dasar dari syari’ah maka itu bukan termasuk bid’ah secara syar’i, walaupun itu bid’ah secara bahasa.

Oleh karena itu, sebenarnya perbedaan yang terjadi hanyalah perbedaan dalam tema pembahasan (domain) bid’ah itu, kalangan pertama yang menyatakan ada bid’ah baik dan buruk, domainnya adalah semua hal baru yang tidak ada pada masa Rasulullah, sedangkan yang menyatakan semua bid’ah adalah sesat, domainnya mereka sempitkan pada yg baru dalam tema agama, yang baru tadi dianggap bagian dari syari’ah, dan dimaksudkan sebagaimana yang dimaksudkan syari’ah.

4. Kenapa Masih dipertentangkan?

Seandainya saja mereka sepakat tentang domain pembahasan bid’ah, tentu tidak perlu ada perbedaan yang berarti, dan sekiranya mereka mau memahami makna yang dimaksud oleh masing masing pihak, niscaya mereka tidak akan saling berselisih, (bahkan di Bogor pernah ada dua radio FM berbantah-bantahan berulang – ulang tentang hal ini), seperti ungkapan berikut:

Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelisihi sabda Rasulullah SAW : “Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat”. Karena Rasulullah SAW telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !

Kemudian yang satunya menjawab: orang yang menyatakan setiap bid’ah adalah sesat, namun menyatakan bahwa belajar nahwu, sharaf, membangun madrasah, naik mobil dll bukanlah bid’ah adalah salah dan menyelisihi sabda Rasulullah SAW : “Artinya : Sesungguhnya setiap yang baru adalah bid’ah”. Rasulullah SAW telah menghukumi bahwa semua yang baru sebagai bid’ah; dan orang ini (yang menyatakan bahwa belajar nahwu, sharaf, membangun madrasah, naik mobil dll bukanlah bid’ah) mengatakan tidak semua yang baru sebagai bid’ah, tapi yang baru dg syarat- syarat tertentu, kalau mau konsisten, seharusnya membuat syarat-syarat tertentu yg tidak dijelaskan Rasulullah itu juga bid’ah!

Maasya Allah, kasihan umat kalau para da’i nya seperti ini, padahal yang berbeda pendapat itu para ‘ulama besar yang sudah dikenal luas oleh umat Islam sedunia, dan mereka tidak saling mencela seperti ini.

5. Bagaimana Menyikapinya

Seharusnya umat, apalagi da’i, ustadz, kyai, bisa memberi contoh bagaimana seharusnya berbeda pendapat, dan mencerdaskan umat bahwa perbedaan tersebut hanya terjadi dalam perbedaan pengungkapan, bukan makna yang dikandung – walaupun dalam detil masalahnya memang kadang terjadi perbedaan.

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany (wafat 852 H), walaupun beliau menyatakan “semua bid’ah adalah sesat”, tentunya “bid’ah” yang beliau maksud adalah bid’ah dengan maksud khusus, beliau dalam kitabnya, Fathul Bâry, masih mengakomodir pendapat – pendapat yang berbeda dengan pendapatnya, beliau tidak menyalahkannya, apalagi menyatakan sebagai sesat, beliau hanya menjelaskan bahwa pendapat yang berbeda tersebut adalah bid’ah dalam domain makna bahasa, dan beliau tidak memaksakan pendapatnya untuk mengikuti definisi bid’ah sebagaimana yang didefinisikan oleh kelompok kedua.

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany menulis[7]:

قَالَ الشَّافِعِيّ ” الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم ” أَخْرَجَهُ أَبُو نُعَيْم بِمَعْنَاهُ مِنْ طَرِيق إِبْرَاهِيم بْن الْجُنَيْد عَنْ الشَّافِعِيّ ، وَجَاءَ عَنْ الشَّافِعِيّ أَيْضًا مَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي مَنَاقِبه قَالَ ” الْمُحْدَثَات ضَرْبَانِ مَا أُحْدِث يُخَالِف كِتَابًا أَوْ سُنَّة أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَة الضَّلاَل ، وَمَا أُحْدِث مِنْ الْخَيْر لاَ يُخَالِف شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَة غَيْر مَذْمُومَة “

Asy Syafi’i berkata: “Bid’ah itu ada dua: yang terpuji dan tercela, yang sesuai sunnah maka ia terpuji, yang menyelisihi sunnah maka ia tercela” dikeluarkan Abu Nu’aim dg maknanya dari jalan Ibrahim bin Junaid dari Asy syafi’i, dan dari Asy Syafi’i juga yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam manaqibnya berkata: “al muhdatsaat (yang diada adakan) itu ada dua bagian, yang bertentangan dengan kitab, atau sunnah, atau atsar atau ijma’ maka ini adalah bid’ah yang sesat, dan apa yang diadakan berupa kebaikan tidak bertentangan dengan sesuatupun dari yang demikian (kitab, atau sunnah, atau atsar atau ijma), maka ini adalah muhdatsat yang tidak tercela”

Dibagian lain Al Hafidz Ibnu Hajar mengutip Al Izzu bin Abdissalaam (wafat 660 H):

وَقَالَ اِبْن عَبْد السَّلاَم : فِي أَوَاخِر ” الْقَوَاعِد ” الْبِدْعَة خَمْسَة أَقْسَامفَالْوَاجِبَة ” كَالاشْتِغَالِ بِالنَّحْوِ الَّذِي يُفْهَم بِهِ كَلاَم اللَّه وَرَسُوله لانَّ حِفْظ الشَّرِيعَة وَاجِب ، وَلاَ يَتَأَتَّى إِلاَ بِذَلِكَ فَيَكُون مِنْ مُقَدَّمَة الْوَاجِب ، وَكَذَا شَرْح الْغَرِيب وَتَدْوِين أُصُول الْفِقْه وَالتَّوَصُّل إِلَى تَمْيِيز الصَّحِيح وَالسَّقِيم ” وَالْمُحَرَّمَة ” مَا رَتَّبَهُ مَنْ خَالَفَ السُّنَّة مِنْ الْقَدَرِيَّة وَالْمُرْجِئَة وَالْمُشَبِّهَة ” وَالْمَنْدُوبَة ” كُلّ إِحْسَان لَمْ يُعْهَد عَيْنُهُ فِي الْعَهْد النَّبَوِيّ كَالاجْتِمَاعِ عَلَى التَّرَاوِيح وَبِنَاء الْمَدَارِس وَالرُّبَط وَالْكَلاَم فِي التَّصَوُّف الْمَحْمُود وَعَقْد مَجَالِس الْمُنَاظَرَة إِنْ أُرِيدَ بِذَلِكَ وَجْه اللَّه ” وَالْمُبَاحَة ” كَالْمُصَافَحَةِ عَقِب صَلاَة الصُّبْح وَالْعَصْر ، وَالتَّوَسُّع فِي الْمُسْتَلَذَّات مِنْ أَكْل وَشُرْب وَمَلْبَس وَمَسْكَن . وَقَدْ يَكُون بَعْض ذَلِكَ مَكْرُوهًا أَوْ خِلاَف الاوْلَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ .

Dan telah berkata Ibnu Abdissalaam dalam akhir kitab “al qawa’id”, “Bid’ah itu ada lima bagian, yang wajib; seperti belajar ilmu nahwu untuk memahami kitabullah dan sunnah rasul-Nya, karena menjaga syari’ah itu wajib, dan tidak bisa terlaksana kecuali dengan nya (nahwu) maka itu menjadi pembuka yang wajib…, yang haram; (pemikiran) apa yang ditetapkan oleh yang menyelisihi sunnah, dari kalangan Qadariyah, Murjiah dan Musyabbihat (yg menyerupakan Allah dengan makhluq), yang mandub/sunnah; setiap kebaikan yang tidak dilakukan pada masa nabi, seperti tarawih berjama’ah, membangun madrasah, rubath, perkataan dalam hal tasawwuf yang terpuji, mengadakan majelis diskusi/ceramah jika yang dikehendaki adalah ridlo Allah, yang mubah/boleh; seperti bersalaman setelah sholat subuh dan ashar, mencukupi diri dg yg lezat2 berupa makanan, minuman, pakaian dan rumah, dan sebagiannya makruh atau khilaful ‘aula (menyelisihi yng utama)” Wallahu A’lam

6. Yang Saya Fahami

Karena domainnya berbeda, maka tidak bisa dicampurkan dalam satu pembahasan, bisa kacau. Seperti ilustrasi yang pernah saya buat:

Suatu ketika ada 3 orang pelajar berselisih tentang Matematika, si A berpendapat bahwa 1 + 2 = 11 namun si B menyalahkannya kata si B yang benar itu 1 + 2 = 10 dan si C menyatakan A dan B tidak mengerti Matematika karena yang benar menurutnya 1 + 2 = 3.

Perdebatan panjangpun terjadi, masing – masing mengemukakan pendapatnya dan menyalahkan yang lainnya, namun mereka lupa menanyakan tema pembahasan mereka masing – masing, sampai akhirnya ada seseorang yang berusaha melerai, dan barulah mereka sadar bahwa si A mengerjakan hitungan yang hasilnya dinyatakan dalam basis 2, si B menyatakan hasilnya dalam basis 3, dan si C menyatakan hasilnya dalam basis 10. Dan ketiganya, dalam konsep matematika, ternyata benar dalam pengerjaan tersebut sesuai dengan basis bilangan yang mereka maksud.

Kalau kita berada pada domain pendapat pertama sebenarnya sudah selesai masalahnya, artinya semua hal yang baru—yg baru pasti bisa baik atau buruk– maka harus dicari status hukum syari’ahnya, kalau sesuai berarti bid’ah hasanah (menurut kelompok ke dua berarti bukan bid’ah), kalau bertentangan berarti bid’ah madzmumah (tercela).

Kalau kita kita berada pada domain pendapat kedua, bahwa semua “bid’ah” adalah sesat, maka yang saya fahami (dari literatur lain, agar lebih mudah dicerna), “bid’ah” [8] adalah:

الفعل الذي يخالف ما جاء به الشرع

Perbuatan yang menyelisihi apa-apa yang dibawa oleh syara’[9]

Yang dimaksud dengan apa yang dibawa oleh syara adalah yang ada dalilnya baik umum atau khusus. Apa saja yang tercakup dalam dalil umum ini maka tidak disebut “bid’ah” seperti belajar kimia, biologi, dll walaupun tidak ada pada masa Rasul namun tercakup dalam dalil tentang menuntut ‘ilmu. Oleh karena itu tidak setiap yang tidak ada pada masa Rasul dikatakan “bid’ah”.

Hanya perbuatan yang Allah telah menentukan secara khusus kayfiyat nya maka melakukan perbuatan tersebut dg membuat kayfiyat sendiri adalah “bid’ah”. Solat misalnya, jumlah raka’atnya sudah ditentukan, waktunya telah dibatasi, arahnya sudah ditentukan, cara dan syarat-syaratnya telah baku, wudlu’, berdiri, angkat tangan, niat, ruku’, sujud, duduk dan seterusnya. Maka solat tergolong ibadah yang kayfiyatnya sudah dibatasi dan dijelaskan, maka melakukannya dengan cara yang bebas dari ketetapan-ketatapannya, misalnya : solat di luar waktunya, membelakangi kiblat, sujud sebelum ruku’ dan seterusnya, maka dia telah berbuat “bid’ah”. Mengangkat kedua tangan saat takbir dalam shalat telah Allah atur dengan kayfiyat tertentu yang hukumnya sunnah, tidak melakukannya berarti tidak berdosa, namun mengangkat tangan saat sholat dengan membuat kayfiyat sendiri (misalnya dengan mengepalkan jari dan mengangkat satu tangan saja – seperti takbir saat masiroh) maka ini “bid’ah”.

Azan telah disyari’atkan dengan lafadz tertentu, maka azan dengan lafadz yang lain, atau menambah, atau mengganti dg lafadz yang lain, atau mengganti hurufnya, atau panjang pendeknya, semuanya terkategori “bid’ah”, misalnya kata shalat dalam azan, walaupun shalat  adalah amal yang baik, tidak boleh diganti dengan “khairul ‘amal” sehingga hayya ‘alash shalat menjadi حي على خير العمل. Adapun lagu/nada azan, karena Allah tidak menentukan kayfiyat tertentu tentang lagunya, maka tidaklah terkategori “bid’ah”.

Adapun perintah tentang dzikir dan berdo’a telah disepakati kemutlakannya oleh semua ulama’, boleh berdiri, boleh duduk, boleh berbaring dan seterusnya, intinya, syari’ tidak pernah membatas-batasinya dengan menentukan metode khusus sebagaimana halnya solat, haji dan ibadah-ibadah muqayyad (yang telah dibatasi kayfiyatnya) lainnya.

Kalau dalam shalat dan haji Rasulullah bersabda:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR. Bukhory)

خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

Ambillah dariku manasik haji kalian (HR Muslim)

Sedangkan dalam dzikir tidaklah demikian, tidak ada kayfiyyat dan batasan khusus yg digariskan Allah berkaitan dengan do’a dan dzikir, maka tidaklah dikatakan “bid’ah” kalau imam berdo’a dengan suara yg terdengar jama’ah, dengan bahasa arab atau non arab, atau bersalaman sambil berdo’a “taqabbalallahu…”. Ibadah zikir adalah ibadah mutlak yang tidak boleh dibatas-batasi oleh seseorang, baik membatasinya dengan cara tertentu misalnya harus bergerak-gerak, harus berjama’ah, harus ini, harus itu dll, atau membatasinya dengan larangan tertentu, misalnya tidak boleh bergerak-gerak, tidak boleh bersama orang lain, tidak boleh dihitung, dll. Keduanya (membatasi dengan membuat kayfiyat khusus yang harus begitu atau larangan tertentu tanpa dasar syara’) sama sama dilarang. Jadi karena kemutlakan zikir itu maka boleh-boleh saja dilakukan secara sendiri ataupun bersama orang lain, di masjid ataupun di rumah, bergerak ataupun diam seperti patung, berdiri, duduk ataupun berbaring, dihitung atau tidak, dan seterusnya.

Sama juga seperti membaca Al Qur’an, Allah tidak menentukan nada tertentu untuk membaca Al Qur’an, ia boleh membacanya dengan nada seperti suda’is, ghomidy, mu’ammar, dll dan tidak terkategori “bid’ah” membaca dengan nada/gaya tersebut, adapun melarang orang untuk mengikuti nada tertentu dalam membaca Al Qur’an, dengan alasan nada tersebut tidak ada pada masa Rasul, maka justru larangan seperti ini yang dilarang, karena ketiadaan sesuatu bukan dalil untuk menyatakan adanya sesuatu. Sama seperti sedekah misalnya, boleh dengan uang, boleh dengan mobil, boleh dengan komputer, dengan pesawat, dll, maka tidak boleh dibatas-batasi dengan mengatakan : sedekah itu hanya sah dengan uang saja dan tidak sah dengan komputer karena nabi tidak mencontohkan yang demikian.

Berkaitan dengan ini, dalam kitabul manasik dikatakan:

ليس لنا الحق أن نطلق ما قيده الله، فليس لنا الحق – أيضاً – أن نقيد ما أطلقه الله

Kita tidak punya hak untuk memperluas(memutlakkan) apa yang sudah dibatasi oleh Allah, maka kita juga tidak punya hak untuk membatas-batasi yang telah diperluas (mutlakkan) oleh Allah[10].

7. Penutup

Sebenarnya, ada PR bagi kedua belah pihak, dan bagi umat Islam secara umum:

  • Bagi pihak yang mengatakan bid’ah ada yg baik dan buruk, ketika ada sesuatu yang baru, maka wajib bagi mereka untuk mengkaji apakah yang baru tersebut baik (wajib, sunnah, mubah, makruh) atau buruk (haram)
  • Bagi pihak yang menyatakan semua bid’ah sesat, dan tidak semua yang baru adalah bid’ah, maka wajib bagi mereka ketika ada sesuatu yang baru untuk mengkajinya apakah yang baru tersebut bid’ah (sehingga sesat/haram) atau bukan bid’ah, kalau bukan bid’ah lalu apa status hukumnya (wajib, sunnah, mubah atau makruh?).

Jadi dari pada berpolemik sesuatu yang baru ini bid’ah atau bukan, lebih baik mengkaji bagaimana status hukum sesuatu yang baru ini, wajib, sunnah, mubah, makruh ataukah haram. Allahu Ta’ala A’lam.

[1] Lihat ‘Irwa’ul Ghalil, 8/107

[2] قواعد الأحكام للعز بن عبد السلام 2 / 172 ط الاستقامة ، والحاوي للسيوطي 1 / 539 ط محيي الدين ، وتهذيب الأسماء واللغات للنووي 1 / 22 القسم الثاني ط المنيرية ، وتلبيس إبليس لابن الجوزي ص 16 ط المنيرية ، وابن عابدين 1 / 376 ط بولاق ، والباعث على إنكار البدع والحوادث لأبي شامة 13 – 15 ط المطبعة العربية .

(2) قواعد الأحكام 2 / 172 ، والفروق 4 / 219 .

[3] الاعتصام للشاطبي 1 / / 18 ، 19 ط التجارية ، والاعتقاد على مذاهب السلف للبيهقي ص 114 ط دار العهد الجديد ، والحوادث والبدع للإمام الطرطوشي ص 8 ط تونس ، واقتضاء الصراط المستقيم لابن تيمية ص 228 ، 278 ط المحمدية ، وجامع بيان العلوم والحكم ص 160 ط الهند ، وجواهر الإكليل 1 / / 112 ط شقرون ، وعمدة القاري 25 / / 37 ط المنيرية ، وفتح الباري 5 / / 156 ط الحلبي .

[4] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, bab bid’ah

[5] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, bab bid’ah

[6] الاعتصام للشاطبي 1 / / 19 ط التجارية

[7] Fathul Bâry, Juz 20 hal 330 dst, Maktabah Syamilah

[8] Saya kasih tanda petik untuk membedakan bahwa “bid’ah” disini adalah yang semuanya sesat.

[9] Dari Dirosah Fiqhiyyah (kumpulan soal – jawab)

[10] كتاب المناسك من الشرح الممتع

Keutamaan Shalawat Nariyyah

Februari 21, 2011 2 komentar

Allohumma sholli ’sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taaamman ‘ala sayyidina Muhammadinilladzi tanhallu bihil ‘uqodu wa tanfariju bihil qurobu wa tuqdho bihil hawaaiju wa tunalu bihir roghooibu wa husnul khowaatimu wa yustasqol ghomamu biwajhihil kariem wa ‘ala aalihi wa shohbihi fie kulli lamhatin wa nafasim bi’adadi kulli ma’lumin laka

Artinya :

Ya Alloh berilah sholawat dengan sholawat yang sempurna dan berilah salam dengan salam yang sempurna atas penghulu kami Muhammad yang dengannya terlepas segala ikatan, lenyap segala kesedihan, terpenuhi segala kebutuhan, tercapai segala kesenangan, semua diakhiri dengan kebaikan, hujan diturunkan, berkat dirinya yang pemurah, juga atas keluarga dan sahabat-sahabatnya dalam setiap kedipan mata dan hembusan nafas sebanyak hitungan segala yang ada dalam pengetahuan-MU

Sholawat Tafrijiyyah (sholawat memohon kelepasan dari kesusahan dan bencana) adalah antara sholawat yang terkenal diamalkan oleh para ulama kita. Sholawat ini juga dikenali sebagai Sholawat at-Tafrijiyyah al-Qurthubiyyah (dinisbahkan kepada Imam al-Qurthubi), dan ada juga ulama yang menisbahkannya kepada Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Imam al-Husain r.anhuma. Di negeri sebelah maghrib, ianya dikenali sebagai Sholawat an-Naariyah kerana menjadi amalan mereka apabila ingin melaksanakan sesuatu hajat atau menolak sesuatu bencana, mereka akan berkumpul dan membaca sholawat ini 4444 kali lalu terkabul hajat mereka dan tertolak segala malapetaka secepat api yang menyambar atau membakar. Ianya juga dikenali sebagai Miftahul Kanzil Muhiith li naili muraadil ‘abiid (kunci perbendaharaan yang meliputi untuk menyampaikan harapan si hamba). Sholawat ini mempunyai keistimewaannya kerana selain sholawat ianya merupakan tawassul kepada Allah dengan Junjungan Nabi s.a.w. di mana kita menyebut nama dan dhamir Junjungan s.a.w. sebanyak 8 kali.

Menurut Imam al-Qurthubi sesiapa yang melazimi akan sholawat ini setiap hari 41 kali atau 100 kali atau lebih, nescaya Allah melepaskan kedukaan, kebimbangan dan kesusahannya, menyingkap penderitaan dan segala bahaya, memudahkan segala urusannya, menerangi sirnya, meninggikan kedudukannya, memperbaikkan keadaannya, meluaskan rezekinya, membuka baginya segala pintu kebajikan, kata-katanya dituruti, diamankan dari bencana setiap waktu dan dari kelaparan serta kefakiran, dicintai oleh segala manusia, dimakbulkan permintaannya. Akan tetapi untuk mencapai segala ini, seseorang itu hendaklah mengamalkan sholawat ini dengan mudaawamah (berkekalan).

Imam as-Sanusi berkata bahawa sesiapa yang melazimi membacanya 11 kali setiap hari, maka seakan-akan rezekinya turun langsung dari langit dan dikeluarkan oleh bumi.

Imam ad-Dainuri berkata bahawa sesiapa yang membaca sholawat ini dan menjadikannya wirid setiap selepas sholat 11 kali, nescaya tidak berkeputusan rezekinya, tercapai martabat yang tinggi dan kekuasaan yang mencukupi. Sesiapa yang mendawamkannya selepas sholat Subuh setiap hari 41 kali, tercapai maksudnya. Sesiapa yang mendawamkannya 100 kali setiap hari, terhasil kehendaknya dan memperolehi kehormatan/kemuliaan melebihi kehendaknya. Sesiapa yang mendawamkannya setiap hari menurut bilangan para rasul (313 kali) untuk menyingkap segala rahsia, maka dia akan menyaksikan segala apa yang dikehendakinya. Sesiapa yang mendawamkannya 1000 kali sehari, maka baginya segala yang tidak dapat hendak diterang dengan kata-kata, tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar dan tidak pernah terbetik di hati manusia.

Imam al-Qurthubi juga berpesan bahawa sesiapa yang berkehendak untuk menghasilkan hajatnya yang besar atau menolak bencana yang menimpa, maka bacalah sholawat ini sebagai tawassul dengan Junjungan Nabi yang empunya akhlak yang agung 4,444 kali, nescaya Allah ta`ala akan menyampaikan kemahuan dan harapan itu atas niat si pembaca. Ibnu Hajar al-’Asqalani telah menyebut akan kelebihan bilangan ini sebagai iksir fi sababit ta`siir (pati ubat sebagai penyebab berlakunya kesan).

Menurut kata ulama, sholawat ini adalah merupakan satu perbendaharaan daripada khazanah-khazanah Allah, dan bersholawat dengannya merupakan kunci-kunci pembuka segala khazanah-khazanah Allah yang dibukakan Allah bagi sesiapa yang mendawaminya serta dengannya seseorang boleh sampai kepada apa yang dikehendaki Allah s.w.t. Oleh itu silalah ikhwah semua merujuk kepada para ulama kita (ingat bukan ulama mereka kerana karang semuanya akan dibid`ahsesatkan) dan melihat akan karangan-karangan terdahulu seperti “Afdhalush Sholawat ‘ala Sayyidis Saadaat” karangan Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, “Jawahirul Mawhub” dan “Lam`atul Awrad” kedua-duanya karangan Tok Syaikh Wan ‘Ali Kutan al-Kelantani, “Khazinatul Asrar” karangan Syaikh Muhammad Haqqi an-Naazili dan lain-lain lagi. Sesiapa yang tak ingin beramal dengannya, tak mengapa, amalkan sahaja apa yang kamu nak amal, jangan nak berbalah pulak dengan aku kerana aku sekadar menukil kata ulama. Daripada berbalah, elok kita perbanyakkan sholawat, shollu ‘alan Nabiy.